google

hidayah

  • hendrasihotang@yahoo.com
  • putrisusilo@yahoo.com
  • ziaulhaq-elhi.blogspot.com/

Senin, 18 Oktober 2010

Antropologi

PENDEKATAN ANTROPOLOGI
A. Pengertian Antropologis
Anthropologis adalah studi tentang manusia dari segi budaya. Berbeda dengan pende-katan sejarah, studi ini lebih spesifik pada fenomena kebudayaan suatu masyarakat sebagai sesuatu yang unik di tengah keragaman corak budaya masyarakat yang berbeda – beda. Sim-bol – simbol budaya yang mengandung makna bagi pemakaiannya dapat diamati sebagai fe-nomena yang mungkin saja muncul dari kenyakinan, nilai – nilai maupun kepentingan masyara-kat tersebut.
Seperti dituturka oleh Akbar S. Ahmed, bahwa tugas utama anthropologi yaitu studi ten-tang manusia adalah memberikan kemampuan kepada manusia untuk memahami dirinya sen-diri melalui budaya orang lain. Dengan anthropologi kesadaran mengenai diri sendiri akan membantu dalam mengapresiasikan orang lain.
Karena demikian luas wilayah kebudayaan, studi anthropologi dispesialisasi ke dalam beberapa disiplin seperti anthropologi budaya, anthropologi sosial, anthropologi fisi dan anthro-pologi falsafi.
Sedangkan istilah enthnologi seperti sering digunakan dalam bahasa Perancis, Jerman dan Belanda sering di beri arti sama seperti apa yang diberikan kepada istilah anthropologi, yai-tu penyelidikan atas perbedaan – perbedaan kebudayaan bangsa – bangsa, arti pengaruh per-bedaan itu atas manusia, atas kehidupan sosialnya, batas – batas kemampuan kebebasan, ke-kuasaan terhadap dirinya yang dimiliki oleh watak manusia sebagai keutuhan factor – factor tertentu yang ditetepkan oleh keturunannya, batas – batas yang di tentukan oleh lingkungan dan pendidikannya terhadap kebebasannya atas keterikatan yang menjadi pembawaan hidup dalam suatu masyarakat dan yang terwujud dalam kewajibannya terhadap alam dan sesama manusia.
Namun menurut J. Van Baal, istilah ethnologi ini tidak mendapat tempat yang tepat da-lam bahasa inggris dan Amerika kecuali dengan arti yang sekarang ini disebut ethno-history, yaitu sejarah bangsa – bangsa, atau lebih luas lagi sejarah meluasnya kebudayaan dan unsur – unsur budaya keseluruh dunia. Karena itu seperti EB. Taylor sering menggunakan istilah eth-nologi ini dengan ethnography, yang ( secara harfiahnya berasal dari kata ethnor, bangsa dan graphein; menulis berarti pelukisan bangsa – bangsa )

B. Signifikasi Antropologi Sebagai Pendekatan Studi Islam
Pendekatan antropologi dalam memahami pendekatan agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud dalam masyarakat. Melalui pendeka-tan ini agama Nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabanya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan dawam ra-hardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung bahkan sifatnya partisifatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sipatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif seba-gaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian antropolis yang induktif dan grounded, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori pormal yang pada dasarnya sangat abstrak se-bagaimana yang dilakukan dibidang sosiologis dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis banyak juga memberi sumbangan kepada peneliti hustoris.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif dan antara kepercayaan. Agama dan kondisi ekomoni dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik pada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesrani, yang menjanjikan perubahan tatnan social kemasyarakatan. Sedangakan golongan orang kaya yang lebih cendrung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karllmarx (1818-1883 ) sebagai contoh melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya utuk memperkenalkan teori komflik atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya agama bisa dis-alah fungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung kapitalisme dieropa yang beragama Kristen. Lainhalnya max weber (1964-1920) dia melihat adanya polerasi positif antara ajaran protestan dengan munculnya semangan kapitalisme modern. Etika protestan dilihatnya sebagai cikal-bakal etos kerja masyarakat indus-rti modern yang kapitalistrik cara pandang weber ini kemudia diretuskan oleh Roberth Nbellah dalam kerjanya derewijjen of tokugawa. Yakni semacam campuran antara ajaran agama budha dan sinto pada era pemerintahan meiji dengan semangat etos orang jepang modern. Tidak ket-inggalan, seorang yahudi kelahiran paris, maximt rodinson dalkam bukunya islam and capital-ism menganggap bahwa ekonomi islam itu lebih dekat kepada system kapitalisme, atau se-kurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip- prinsip dasar kapitalisme.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas,kita melihat bahwa agama tern-yata berkororasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.Dalam hu-bungan ini,maka jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang maka da-pat dilakukan dengan mengubah pandangan keagamaan.
Selanjutnya melalui pendekatan antropologis ini kita dapat melihat agama dalam hubungan dan mekanisme keorganisasian juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan.kasus di Indonesia peneliti ELIFFORD GREETZ dalam karyanya the religion of ja-va,dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini.Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di jawa,antara santri,priyayai dan abangan. Sungguhpun hasil peneli-tian antropologis di jawa timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial yang lain,namun konstruksi statifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berfikir ulang untuk mengecek ulang keabsahanya.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis ini kita juga dapat melihat hubungan antara agama dan Negara (state and religion).Topik ini juga tidak pernah kering dikupas oleh para pe-neliti. Akan selalu menarik melihat penomena negara agama, seperti Vatikan dalam bandin-gannya dengan negara – negara sekuler di sekelilingnya di Eropa Barat. Juga melihat ken-yataan Negara Turki modern mayoritas penduduknya beragama islam, tetapi konstitusi nega-ranya menyebut sekuralisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak dapat ditawar – tawar. Belum lagi meneliti dan membandingkan Kerajaan Saudi Arabia dan negara Rebuplik Iran yang berdasarkaan Islam. Orang yang bertanya apa sebenarnya yang menyebabkan kedua sistem pemerintahan tersebut sangat berbeda, yaitu kerajaan dan republik, tetapi sama – sama menyatakan islam sebagai asas tunggalnya. Belum lagi jika dibandingkan dengan Negara kesatuan Republik Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.
Selanjutnya, melelui pendekatan antropologis ini juga dapat ditemukan keterkaitan agama den-gan psikoterapi. Sigmun Freud ( 1856 – 1939 ) pernah mengaitkan agama dengan Oedipus Complex, yakni pengalaman infantil seorang anak yang tidak berdaya di hadapan kekuatan dan kekuasaan Bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dalam psikoanalisanya, dia men-gungkapkan hubungan antara id, ego dan superego. Meskipun hasil penelitian Freud berakhir dengan kurang simpati terhadap realita keberagamaan manusia, tetapi temuannya ini cukup member peringatan terhadap beberapa kasus keberagamaan tertentu yang lebih terkait den-gan patokologi sosial maupun kejiwaan. Jika Freud oleh beberapa kalangan dilihat terlalu mi-nor melihat fenomena keberagamaan manusia, lain halnya dengan psikoanalisis yang dikemu-kakan C.G.Jung. Jung malah menemukan hasil temuan psikoanalisanya yang berbalik arah dari apa yang ditemukan oleh Feud. Menurutnya,ada korelasi yang sangat positif antara agama dan kesehatan mental.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat ak-rab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab banyak berbagai hal yang dibi-carakan agama bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis.Dalam AL-Karim, sebagai sumber utama ajaran Islam misalnya kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, Kisah Ashabul Khafi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus dua tahun lamanya. Di mana kira – kira bangkai Kapal Nabi Nuh itu ; dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu ; ataukah hal yang demikian merupakan kisah fiktik. Tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat ban-tuan ilmu antropologi dengan cabang – cabangnya.
• Pendekatan Antropologis-Ethnologis
Essai ini menyajikan pendekatan Anthropologis –Ethnologis dalam studi islam. Seperti pendekatan sejarah, pendekatan ini bersifat empiris dan memandang agama segala fenomena sosial yang dapat diamati secara langsung dalam jehidupan nyata. Pendekatan ini dalam dunia islam telah di laksanakan oleh beberapa ilmuan seperti Ibn Khaldun dan al-Biruni jauh sebelum abd Renaisannce di Barat. Namun penggunaan dan kajian sistematis pendekatan ini. Khususnya dalam studi seperti Emile Durkeim ( 1859 – 1917 ) atau yang konfrontatif dengan A.A. Goldenweiser,Willhem Schmdt dan Sharles H. long, atau juga seperti Levy Bruhl ( 1857 – 1939 ) dan sebagainya.
Sasaran pendekatan ini adalah manusia dri segi budayanya, yang sangat kompleks dan berjalin – jalin seperti disebut Clifford Geertz jalinan budaya ini sedemikian rupa hingga manusia terperangkap dalam anyaman makna budaya yang dirajutnya sendiri.
Essai ini mengedepankan bagaimana pendekatan ini dipakai dalam studi islam seperti telah berkembang jauh sebelum tokoh – tokoh Barat itu lahir. Di akhir tulisan ini juga akan disajikan kontribusi dan singnifikasi pendekatan ini bagi umat islam secara keseluruhan.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agana dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkem-bang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan ma-salah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawanannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Penelitian antropologi yang Grounded Research, yakni penelitian yang penelitinya terlibay da-lam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Seorang peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya diinterpretasi dengan menggunakan kerangka teori tertentu. Mi-salnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Geetz tentang struktur-struktur sosial di Jawa yang berlainan.

Struktur-struktur sosial yang di maksud adalah Abangan (yang intinya berpusat dipedesaan), santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), dan priyayi (yang intinya ber-pusat di kantor pemerintahan, dikota). Adanya tiga struktur sosial yang berlainan ini menunjuk-kan bahwa dibalik kesan yang didapat dari pernyataan bahwa penduduk Mojokuto itu sembilan puluh persen beragama Islam. Tiga lingkungan yang berbeda itu berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa yang telah mewujudkan adanya Abangan yang menekankan pentingnya spek-aspek animistik, santri yang menekankan pentingnya as-pek-aspek Islam dan priyayi yang menekankan aspek-aspek Hindu.
Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat diketahui bahwa model penelitian yang dilakukan Geertz adalah penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif.

C. Perkembangan Pendekatan Anthropologi
Untuk menyebut perkembangan yang lebih sistematis dalam disiplin anthropolgi dalam islam tentu Akbar S. Ahmed tidak dapat dilupakan sebagai tokoh yang selalu intens melakukan investigasi anthropologis. Tulisannya yang cukup mengesankan Towed Islamic anthropologi merupakan investigasinya cemerlang. Di bagian akhir tulisannya ini, ia memberikan rekomen-dasi yang berharga dan perlu dilaksanakan, antara lain (1) sosiologi kecemerlangan masa Mu-hammad hendaknya dipersiapkan dan di publikasikan secara luas, (2) teks book anthropologi yang standar harus disusun, (3) monograpf anthropologi suatu wilayah islam mesti di produksi dan didistribusikan ke wilayah lainnya, (4) para anthropologi muslim semestinya langsung meli-hat ke wilayah lain dimana ia akan mengadakan penelitian, (5) perlunya dibedakan kategori so-siologi dan anthropologi agar diperoleh pemahaman yang lebih menarik, (6) orientasi studi an-thropologi secara praktis perlu disusun dalam kerangka yang memadai, dan (7) berbagai karya anthropologi dan enthnoraphi Islam mesti diskomplikasi agar lebih mudah dalam mengapresias-inya.
Menurut Ahmed tokoh – tokoh anthropologi dalam dunia islam tumbuh dengan sangat mengesankan, jauh sebelum Barat ( western anthropologi seperti Kal Max, Max Weber, Vil-predo Pareto dan Ernest Gelner ) muncul seperti Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad al-Buruni al-Khawarizmi (W . 1048 ), Waliyuddin Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Bakar Muhammad ibn al-Hasan ibn Khaldum ( w. 1406 ) dan juga Ibn Batutah. Karya – karya mereka cukup cemerlang untuk dikembangkan.
Tokoh – tokoh belakangan abad 20 ini dalam penelitian mereka ini yang bersifat anthro-pologis seperti Edward Said, selainya bukunya Orientalist, juga menerbitkan Cultur and Imperi-alism, atau juga Bassam Tibi, yang menerbitkan The Crisis of Modren Islam; A Pre Industrial Culture in the Sceintific Technological Age, dan beberapa tokoh lainnya.
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan ka-jian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus ber-kembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Ser-ingkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan ke-beradaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.

Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan ma-nusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masya-rakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walau-pun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubun-gan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka me-reka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkun-gan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan kese-harian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan ker-agaman masalah sosialnya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting un-tuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengung-kapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami ma-nusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanu-siaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan aga-ma dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai ‘common sense’ dan ‘religious atau mystical event.’ Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar mau-pun teknologi.

D. Sejarah perkembangan Antropologi
Antropologi mulai berkembang ketika orang-orang Eropa melakukan penjajahan dan men-datangi penduduk pribumi dibenua Afrika, Asia dan Amerika pada akhir abad ke-15 dan permu-laan abad ke-16
 Pada fase pertama (pertama sebelum 1800) Dari penjajahan ini, membuat mere-ka tertarik untuk mendiskipsikan suku-suku dan penduduk pribumi setempat, yakni menyangkut ; adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan cirri-ciri fisik. Deskipsi-deskripsi yang dilakukan itu disebut bahwa etnografi (bahasa).
 Pada fase kedua ( pertengahan abad ke-19) mulailah timbul tulisan-tulisan (es-say) oarng Eropa menyangkut masyarakat dan kebudayaan manusia yang me-reka datangi tersebut. Terjadinya evolusi selama ribuan tahun; bentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia yang tertinggi menurut mereka adalah bentuk yang ditampilkan seperti orang-orang Barat. Selain itu (diluar Barat) me-reka ), dimenyebutnya sebagai bangsa primitive dengan tingkat kebudayaan yang sangat rendah.
 Pada fase ketiga ( permulaan abad ke-20) ditandai dengan merancapnya imperi-alism (Negara Eropa) terhadap Negara-negara Asia,Afrika dan Amerika Latin. Pada fase ini antropologi sangat berguna untuk mempelajari bangsa-bangsa dan daerah-daerah diluar Eropa dengan tujuan praktis, yakni”mempelajari masyara-kat dan kebudayaan suku-suku bangsa diluar Eropa guna kepentingan pemerin-tah colonial dab guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks”.
 Pada fase keempat (setelah tahun 1930), dengan bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti serta ketajaman metode ilmiyahnya. Tujuan antopologi pada fase ini mengalami perubahan paradigm. Koentjaraningrat mengatakan secara aka-demmial, antropologi bertujuan untuk mencapai pengertian tentang makhluk ma-nusia pada umumnya dengan mempelajari warna bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaannya, sedangkan tujuan praktisnya yaitu mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna membangun masyarkat suku bangsa itu.


KESIMPULAN
Antropologis adalah studi tentang manusia dari segi budaya. Studi ini lebih spesifik pada penomena kebudayaan suatu masyarakat sebagai sesuatu yang unik ditengah keragaman co-rak budaya masyarakat yang berbeda-beda.
Pendekatan Antropologis dalam memahami pendekatan agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama Nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi ma-nusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabanya.
Pendekatan Anthropologis –Ethnologis dalam studi islam. Seperti pendekatan sejarah, pendekatan ini bersifat empiris dan memandang agama segala fenomena sosial yang dapat diamati secara langsung dalam kehidupan nyata.
Antropologi mulai berkembang ketika orang-orang Eropa melakukan penjajahan dan mendatangi penduduk pribumi dibenua Afrika, Asia dan Amerika pada akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar