google

hidayah

  • hendrasihotang@yahoo.com
  • putrisusilo@yahoo.com
  • ziaulhaq-elhi.blogspot.com/

Selasa, 12 Oktober 2010

persaudaraan 1

“ Hadits diatas menggambarkan hakikat hubungan sesama muslim. Hubungan mereka diibaratkan bagaikan satu tubuh. Satu dengan anggota lain membutuhkan dan mereka tidak bias dipisahkan. Jika salah satu anggota badan tersebut sakit, maka anggota badan yang lain ikut merasa sakit.
Hadits ini diperkuat dengan hadits lain yang menggambarkan bahwa seseorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan. Bangunan tidak akan berdiri kalau salah satu komponennya tidak ada. Hal ini menggambarkan betapa kokohnya hubungan antara mukmin/muslim.
Itulah salah satu kelebihan yang seharusnya dimiliki oleh kaum mukmin dalam berhubungan antara sesame kaum mukminin. Sifat egois atau mementingkan diri sendiri sangat ditentang oleh islam. Sebaliknya umat Islam memerintahkan umatnya untuk bersatu dan saling membantu karena persaudaraann seiman lebih erat daripada persaudaraan sedarah. Itulah yang akan menjadi paangkal kekuatan kaum muslimin. Setiap muslim merasakan penderitaan saudaranya dan menggulurkan tangannya untuk untuk membantu sebelum diminta,yang bukan didasarkan atas “take and give” tetapi berdasarkan lillah.
Konsep persaudaraan ini telah dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW. Masyarakat yang dirajut Rasul itu terlihat antara Mujahirin dengan Anhsor. Antara mereka rela mengorbankan harta, keluarga dan bahkan jiwa untuk kepentingan saudaranya.
Bukti persaudaraan, kasih saying dan keramahtamahan disertai keikhlasan yang sangat tinggi dari kaum Anshor terhadap muhajirin telah diabadikan dalam Al-Qur’an Al-Hasyr ayat 9 yaang berbunyi :









Artinya:
“ Orang-orang yang mendiami kampung madinah dan beriman sebelum mereka (Al Anshor), mereka mengasii orang-orang yang hijrah kepada mereka dan tidak ada dalam hati mereka iri hati karena orang-orang muhajirin mendapat harta rampasan, bahkan mereka mengutamakan Al Muhajirin dari pada diri mereka sendiri, meskipun pada suatu yang mereka berhajat kepadanya. Barang siapa memelihara dirinya dari kikir, maka mereka itulah orang-orang yang menang.
Pada masa itu kaum muslimin benar-benar bersatu dan bersaudara sehingga menjadi satu kekuatan yang sulit ditandingi oleh musuh walaupun jumlah kaum muslinim tidak terlalu banyak.
Salah satu landasan utama yang mampu menyatukan umat bersatu atau bersaudara ialah persamaan/aqidah. Ini telah dibuktikan oleh bangsa Arab yang sebelum Islam selalu bercerai berai, tetapi setelah mereka menganut agama Islam dan memiliki pandangan yang sama (way of life ) baik lahir maupun batin, mereka dapat bersatu.
Menurut Quraisy Shihab, berdasarkan ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an, setidaknya ada empat macam bentuk persaudaraan, yaitu:
1. Ukhuwah ubudiyah : Bersaudara karena sama-sama makhluk Allah
2. Ukhuwah Insaniyah : Bersaudara karena berasal satu ayah dan ibu (adam dan hawa )
3. Ukhuwah Wathoniyah Wa an-Nasab : Bersaudara dalam kebangsaan dan keturunan.
4. Ukhuwah Islamiyah : Bersaudara karena sama-sama sebagai muslim.




MEMELIHARA SILATURRAHIM




Artinya:
“Anas ibn Malik berkata : saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Siapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturrahim.
Silaturrahim adalah menyambung tali persaudaraan. Menyambung tali silaturrahim mengangkat rizki yang merupakan bekal hidup didunia untuk mengabdi kepada-Nya. Selain itu orang yang selalu menyambungkan silaturrahim akan memperpanjang usia dalam arti akan dikenang selalu.
Bila kita cermati dengan seksama, hadits diatas sangatlah logis. Orang yang selalu bersilaturrahim tentunya akan memiliki banyak teman dan relasi, sedangkan relasi merupakan salah satu faktor yang akan menunjang kesuksesan seseorang dalam berusaha atau berbisnis.
Begitu juga pernyataan bahwa bagi mereka yang suka bersilaturrahim akan diperpanjangkan usianya adalah sangat logis. Karena dengan memperbanyak silaturrahim, ia akan banyak berbuat kebaikan sesama manusia, yang berarti pula semakin banyak mendapat pahala. Pahalanya akan lebih banyak dari pada orang yang tidak pernah bersilaturrahim walaupun umur yang sama. Dengan demikian, seakan-akan dia memiliki umur lebih panjang walaupun hakikat umur yang sesuai dari yang ditetapkan oleh Allah. Selain itu orang yang banyak silaturrahim walaupun sudah meninggal, ia banyak diingat seakan-akan ia masih hidup.
Menurut Al-Faqih Abu Laits al-samarqandhi,keuntungan dari bersilaturahmi ada 10 macam,yaitu:
1. Memperoleh ridho Allah
2. Membuat gembira orang lain
3. Membuat para pelakunya disukai oleh para malaikat
4. Mendatangkan pujian dari kaum muslimin
5. Membuat iblis marah
6. Memperpanjang usia
7. Menambah berkah rezikinya
8. Membuat senang kaum kerabat yang sudah meninggal,karena mereka senang anak cucunya bersilaturahim
9. Memupuk rasa kasih sayang diantara keluarga sehingga timbul semangat saling membantu
10. Menambah pahala sesudah pelakunya meninggal karena ia akan selalu dikenang dan dido’akan karena kebaikannya.
F. LARANGAN MEMUTUSKAN SILATURRAHIM




Artinya : “Dari Abi Ayyub al anshori, Rasulullah bersabda : tidak dihalalkan seorang muslim memusuhi saudaranya lebih dari tiga hari sehingga jika bertemu salinh berpaling muka, dan orang yang paling baik diantara keduanya ialah yang lebih dahulu memberi salam.
Dalam hidup-kehidupan sesama manusia tidaklah selamanya baik. Pergesekan antara sesame tidak mungkin dapat dihindarikan. Namun demikian egoisme tidak boleh berlama-lama, apalagi melebihi tiga hari.
Menurut hadits diatas, orang yang memutuskan silaturrahim merupakan pelanggaran agama, dan sangsinya berat. Dalam surat Al-Baqarah ayat 27 dan surat Al-Ra’du ayat 25 yang menjelaskan bahwa pemutus silaturrahim adalah kelompok yang merugi, dikutuk dan kelak menempati suatu tempat yang tidak kondusif (api neraka ).
Sementara itu, di hadits yang lain ditegaskan bahwa orang yang memutuskan silaturrahim ancamannya adalah tidak masuk surga. Sesuai dengan hadits berikut :




Artinya : “ Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silaturrahim.
Menurut An Nawawi, persengketa harus diakhiri pada hari ketiga, tidak boleh lebih. Menurut sebagian ulama, diantara sebab Islam membolehkan persengketaan selama tiga hari karena dalam jiwa manusia terdapat sifat amarah dan akhlak jelek yang tidak dapat dikuasainya ketika dalam bertengkar atau dalam keadaan marah. Waktu tiga hari diharapkan akan menghilangkan perasaan tersebut.
Didalam cara efektif untuk membuka kembali hubungan yang telah terputus tersebut adalah dengan mengucapkan salam sebagai tanda dibukanya kembali hubungan kekerabatan. Ini bukan berarti orang yang memulai salam itu berarti kalah, akan tetapi ia telah melakukan perbuatan yang sangat mulia dan terpuji disisi Allah SWT.
Ada 3 hal yang disukai Allah dan ada 3 hal yang dibenci Allah: Allah suka kalau hambaNya menyembah kepadaNya dan tidan tidak menyekutukanNya dengan suatu apapun; Allah suka kalau hambaNya berpegang teguh dengan ikatan Allah; Allah suka kalau hambaNya tidak bercerai berai; Allah membenci hambaNya yang banyak bertanya sesuatu yang tidak berguna; dan Allah membenci hambaNya yang suka memboroskan harta.

persaudaraan

silaturrahmi
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (Q.S. an-Nisa’ (4): 1)
Makna Silaturrahim
Secara kebahasaan silaturrahim merupakan kata majemuk yang terambil dari kata bahasa Arab, yaitu shilat dan rahim. Kata shilat berasal dari kata washala yang berarti menyambung atau menghimpun. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti kasih sayang, kemudian berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.
Rasulullah SAW. mendefenisikan orang yang bersilaturrahim melalui hadisnya:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Bukanlah bersilaturrahim orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturrahim adalah orang yang jika diputuskan silaturrahim, maka ia sambung shilaturrahim tersebut (H.R. Bukhari, at-Turmudzi, Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal).
Pentingnya Silaturrahim
Silaturrahim merupakan hal yang sangat penting, sehingga tidak jarang dalam sejumlah ayat Allah gandengkan antara perintah untuk tunduk dan patuh kepada-Nya dengan perintah untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan serta menghindarkan perpecahan dengan sesama manusia. Misalnya firman Allah SWT.:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk (Q.S. Ali Imran (3): 103)

Banyaknya ayat-ayat yang senada maknanya dengan ayat di atas mengindikasikan bahwa ciri keimanan dan ketakwaan seseorang akan tampak pada sikapnya kepada Allah SWT. dan kepada sesama manusia. Hal ini semakin jelas bila kita amati sejumlah hadis Nabi SAW. Seperti sabda Nabi SAW. berikut ini:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka muliakan tamunya. Siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka hubungkan silaturrahim. Siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat, maka berkata baiklah atau (jika tidak mampu lebih baik) diam (H.R. Bukhari).
Hadis di atas secara tegas mengatakan bahwa ciri dari orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat adalah mereka yang memuliakan tamu, memelihara hubungan silaturrahim dan berkata baik atau (jika tidak mampu berkata baik lebih baik) diam. Dengan demikian, silaturrahim adalah ciri dari keimanan seorang muslim. Oleh sebab itu, jika ada seseorang yang suka memutuskan silaturrahim, berarti dia belum memiliki keimanan yang baik.
Terkait dengan silaturrahim, suatu hari Aisyah menyampaikan sebuah berita kepa Nabi SAW.: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di suatu kampung ada seorang wanita salehah. Ia rajin shalat dan berpuasa. Ia juga menunaikan ibadah haji. Barangkali, inilah wanita yang akan mendapatkan curahan rahmat dan kasih sayang Allah”.
Rasulullah menjawab: “Wahai Aisyah, kalau kau ingin tahu contoh wanita yang mendapatkan murka dari Allah dan tidak mendapatkan rahmat serta kasih sayang Allah dialah wanita itu”.
Aisyah menjawab: “Tidak mungkin. Ia rajin shalat dan puasa. Ia juga menunaikan ibadah haji. Ia sering mendoakan anda sekeluarga dengan membaca shalawat”. Nabi SAW. menjawab: “Saya tahu betul wanita itu rajin shalat dan puasa, tapi ia sering bertengkar dengan tetangga”.
Ungkapan Rasul SAW di atas memberi gambaran bahwa keselamatan akan diperoleh tidak saja dengan menjalin hubungan baik dengan Allah saja, tetapi juga harus dibuktikan dengan usaha menciptakan kedamaian, persaudaraan dan silaturrahim dengan sesama manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut ini:

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ

Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia (Q.S. Ali Imran (3): 112)
Suatu waktu Rasul SAW ditanya oleh sahabat tentang amal apa yang paling dicintai Allah SWT. Secara berurutan Nabi menyebutkan: iman kepada Allah, bersilaturrahim dan amar ma’ruf nahi munkar. Sebaliknya, Nabi juga pernah ditanya tentang amalan apa yang paling dimurkai Allah, Nabi menjawab: syirik (mensekutukan Allah) dan memutuskan silaturrahim.
Berdasarkan uraian di atas tampak jelas bahwa silaturrahim adalah suatu hal yang sangat penting untuk dipelihara oleh setiap orang yang beriman.
Upaya Memelihara Silaturrahim
Banyak upaya yang diajarkan oleh Allah SWT. dan Rasulullah untuk memelihara silaturrahim tersebut, antara lain:
1. Hindarkan dari perbuatan mengolok-olok yang akan menyinggung perasaan orang lain, jangan mencela, memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain, dan jangan suka menggunjing (Q.S. al-Hujurat (49): 11-12).
2. Memperlakukan manusia dengan perlakuan ihsan, yaitu memperlakukan baik manusia yang tidak baik kepadanya dan memperlakukan leebih baik terhadap manusia yang sudah berlaku baik kepadanya. Inilah yang diperintahkan Allah SWT melalui ayat-Nya:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri (Q.S. an-Nisa’ (4): 36)
Perintah berbuat ihsan tersebut juga ditemukan dalam an-Nahl (16) ayat 90
3. Tunaikan hak-hak sesama muslim. Di antara hak-hak yang dimaksud diuraikan Nabi SAW. dalam hadisnya berikut ini:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ

Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima, yaitu: menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah (ke pemakaman), memenuhi undangan dan mendoakan orang bersin (H.R. Bukhari)
4. Ibrahim bin Adam menyebutkan bahwa ada dua hal yang harus dipersiapkan untuk menjalin persaudaraan dan silaturrahim, yaitu siapkan sebagian hartamu untuk membantu temanmu pada saat ia membutuhkan dan siapkan kesabaran untuk menghadapi kekeliruannya kepadamu.

Jika beberapa poin di atas diperhatikan dan dilaknakan dengan baik, maka silaturrahim yang diperintahkan Allah SWT dan Nabi SAW dapat terwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Silaturrahim seperti inilah yang dikatakan oleh Nabi SAW sebagai suatu yang akan memperpanjang umur, memudahkan rezki dan menghindarkan diri dari mati buruk.

http://teladan98.tripod.com/teladan206.htm
Persaudaraan Dalam Islam
Perpaduan adalah asas bagi ajaran Islam kerana ia bukannya sekadar membina hubungan manusia dengan Allah semata-mata tetapi kita juga diseru supaya mengukuhkan hubungan baik sesama manusia dan mahkluk-mahkluk yang lain. Ini dapat dilihat secara jelas dalam maksud firman Allah s.w.t yang berbunyi:

Yang bermaksud: “ Ditimpa kehinaan ke atas mereka walau di mana mereka berada melainkan mereka berpegang teguh dengan agama Allah dan menjalinkan hubungan baik sesama manusia. ” (Surah A-li ‘Imran : Ayat 112)
Untuk membina perpaduan sesama umat Islam, Allah s.w.t menggambarkan bahawa setiap orang Islam itu bersaudara antara satu sama lain yang mana asas persaudaraan itu bukan sekadar dari hubungan tali persaudaraan keluarga atau satu bangsa tetapi disatukan dengan tingkatan akidah dalam Islam seperti firman Allah s.w.t:

Yang bermaksud : “Sesungguhnya orang Mukmin itu bersaudara” (Surah Al-Hujurat : Ayat 10)
Ayat di atas mengambarkan kepada kita bahawa umat Islam mendapat pengiktirafan dari Allah s.w.t sebagai saudara seagama, yang banyak hak yang perlu dipelihara bersama-sama.
Dalam Al-Quran banyak ayat yang menggalakkan kita sebagai seorang Muslim untuk menghormati saudara sesama Islam, bukan sekadar memelihara dari segi pergaulan dan tutur bicara, malah dalam segala aspek ekonomi dan keseimbangan kehidupan sosial juga, meletakkan satu tanggungjawab yang perlu dilaksanakan.
Dalam syariah Islam, setiap umat bukan sekadar disuruh untuk melakukan ibadah sembahyang, puasa, haji dan sebagainya sebagai pengabdian kepada Allah s.w.t semata-mata, tetapi digalakkan juga kita melakukan secara berjemaah dan bersatupadu dengan matlamat yang sama iaitu mencari keredhaan Allah s.w.t. Malah dalam aspek pembinaan masyarakat Islam itu sendiri, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana Baginda Rasulullah s.a.w berusaha bersungguh-sungguh untuk menjalin hubungan sesama Islam tanpa mengira latar belakang keturunan dan kedudukan sosial mereka. Sejarah telah membuktikan kepada kita bahawa belum pernah berlaku penyatuan satu umat yang besar melainkan kejayaan Baginda Rasulullah s.a.w membina ketamadunan umat dalam tempoh yang pendek dan mengabungkan pelbagai fahaman agama yang berbeza, kepada agama Islam.
Malah belum pernah berlaku dalam mana-mana sejarah dan peradaban kehidupan manusia ketika itu, di mana orang dari golongan bangsawan dipersaudarakan dengan golongan hamba sahaya sehingga sanggup berkorban nyawa, disebabkan perasaan kasih sayang yang teramat menusuk dalam sanubari mereka, seperti Saidina Abu Bakar Assidik r.a dengan Saidina Bilal bin Rabah r.a. Malah setiap sahabat dapat merasai akan nikmat dari perpaduan serta persaudaraan berteraskan agama Allah. Ini dapat dilihat dari hadis Baginda Rasulullah s.a.w yang berbunyi:

Yang bermaksud: “ Tidak ada kebaikan orang Arab ke atas A’jami (bukan Arab) melainkan yang bertaqwa. ”
Walaupun persaudaraan merupakan satu lambang keamanan sejagat untuk umat manusia menggembleng pemikiran dan tenaga untuk mengimarahkan dan memakmurkan dunia ini dengan berteraskan konsep tauhid dan ilmu pengetahuan, namun terdapat unsur-unsur dalaman dan luaran yang akan mengagalkan misi umat sebagai khalifah di dunia ini. Unsur-unsur dalaman terdapat dalam diri setiap insan yang mendorong ke arah sangkaan buruk dan cemburu di atas kejayaan saudaranya. Tidak cukup sekadar itu, sikap hasad dan dengki mendorong manusia terus berusaha dengan bersunguh-sunguh untuk memusnahkan kejayaan saudaranya itu. Sifat-sifat seperti ini adalah merupakan satu penyakit umat Islam masa kini yang semakin parah sehingg umat Islam kini menderita dan gagal bersaing denga bangsa lain yang beragama lain. Maka tidak hairanlah terdapat banyak ayat Al-Quran dan Hadis yang melarang kita dari bersifat sedemikian. Sebagai contoh, baginda Rasulullah s.a.w pernah bersabda yang berbunyi :

Yang bermaksud : “ Jauhilah kamu akan sifat dengki kerana sifat dengki akan memakan kebaikan kamu seperti mana api memakan daun kering. ” (Hadis Sahih)
Faktor luaran pula, sebagai contohnya, pelbagai hasutan dan khabar agin yang sengaja diada-adakan agar umat Islam sentiasa bergaduh dan bermusuhan antara satu sama lain, supaya benteng persaudaraan ini ranap dan roboh begitu sahaja. Akhirnya, umat Islam yang mendakwa menganuti agama yang sempurna, tidak lagi dapat membawa apa-apa kesan dan keutuhan kepada umat Islam itu sendiri. Apa yang terjadi ialah satu demi satu, sama ada negara atau bangsa akan tersungkur tunduk patuh kepada orang kafir, sama ada kepada orang Yahudi, Kristian mahupun Komunis.
Sebenarnya umat Islam hari ini amat mengharapkan mana-mana negara umat Islam yang belum ditimpa kemelut ini menghulurkan bantuan dan memerdekakan mereka dari penjajah-penjajah Barat, yang semakin memeras dan menindas umat dan kesucian Islam. Sudah ramai yang menjadi penuntun sepi di atas penderitaan umat Islam. Kalau bukan orang Islam sendiri yang datang menebus kesucian dan maruah umat Islam, siapa lagi? Oleh itu marilah kita merendahkan diri dan bertekad untuk mengembalikan kekuatan umat Islam yang semakin terhakis dan ingatlah orang Islam itu saudara kita, bukan musuh kita dan kita akan dipersoalkan dihadapan Allah s.w.t di akhirat kelak mengenai tanggungjawab yang telah kita jalankan terhadap saudara seagama kita.


http://www.dakwatuna.com/2007/silatur-rahim-bagian-2/
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: اِحْفَظُوْا أَنْسَابَكُمْ تَِِِِِِِِِِصِلُوا أَرْحَاَمَكُمْ، فَإنَّهُ لاَ بُعْدَ بِالرَحِمِ إِذَا قَرُبَتْ، وَإِنْ كَانَتْ بَعِيْدَةً، وَلاَ قُرْبَ بِهَا إِذَا بَعُدَتْ، وَإِنْ كَانَتْ قَرِيْبَةً، وَكُلُّ رَحْمَةٍ آتِيَةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمَامَ صَاحِبِهَا، وَتَشْهَدُ لَهُ بِصِلَةٍ إِنْ كَانَ وَصَلَهَا، وَعَلَيْهِ بِقَطِيْعَةٍ إِنْ كَانَ قَطَعَهَا
1. Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jagalah nasab kalian akan tersambung kekerabatan kalian. Sesungguhnya tidak ada (kata) jauh bagi rahim jika (nasab) dekat, walaupun ia (nasab) itu sendiri jauh dan tidak ada kedekatan (rahim) jika (nasab) jauh walaupun ia (nasab) itu jauh. Setiap rahim akan datang pada hari Kiamat kepada si empunya dan menyaksikannya (telah) menyambung silatur-rahmi jika ia telah menyambungnya. Ia juga menjadi saksi bahwa ia telah memutuskannya jika memang telah memutuskannya.” [Al-Adab Al-Mufrid serta Syarahnya (1/256 hadits nomor 73) para perawinya Tsiqat. Di Al-Mustadrak diungkapkan dengan redaksi yang mirip. Al-Hakim berkata, "Shahih menurut kriteria Syaikhain namun salah satu dari keudnya tidak ada yang mengeluarkannya. Adz-Zahabi dalam At-Talkhis-nya tidak berkomentar tentang hadits tersebut. Sedangkan pada (4/161) ia berkata, "Shahih menurut kriteria Syaikhain dan Adz-Zahabi sepakat."]
عَنْ عَمْرو بْنِ عَبَسَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَوَّلِ مَا بُعِثَ وَهُوَ بِمَكَّةَ، وَهُوَ حِيْنَئِذٍ مُخْتَفٍّ، فَقُلْتُ: مَا أَنْتَ؟ قَالَ: ” إِنِّي نَبِيٌّ ” قُلْتُ: وَمَا النَّبِيُّ؟ قَالَ: “رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” قُلْتُ: بِمَا أُرْسِلْتَ؟ قَالَ: “بِأَنْ يُعْبَدَ اللهُ، وَتُكْسَرَ الأَوْثَانُ ، وَتُوْصَلَ الأَرْحَامُ بِالْبِرِّ وَالصِّلَةِ “
2. Amr bin Abasah ra berkata, “Aku mendatangi Rasulullah di permulaan diutusnya beliau kala beliau berada di Mekah. Saat itu beliau sedang bersembunyi. Aku tanyakan, “Kamu ini apa?” Beliau menjawab, “Aku nabi.” Aku tanyakan, “Apa itu nabi?” Beliau menjawab, “Utusan Allah.” Aku tanyakan lagi, “Dengan (misi) apa kamu diutus?” Beliau menjawab, “Agar Allah disembah, patung-patung dihancurkan, dan kekerabatan disambung dengan kebajikan hubungan.” [Al-Hakim (4/149) ia berkata, "Hadits ini shahih menurut kriteria Syaikhain namun keduanya tidak mengeluarkannya, Adz-Zahabi mengakuinya."]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالاً مِنَ الأَعْرَابِ لَقِيَهُ بِطَرِيْقِ مَكَّةَ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللهِ، وَحَمَّلَهُ عَلَى حِمَارٍ كَانَ يَرْكَبُهُ، وَأَعْطَاهُ عِمَامَةً كَانَتْ عَلَى رَأْسِهِ. فَقَالَ ابْنُ دِيْنَارٍ: فَقُلْنَا لَهُ: أَصْلَحَكَ اللهُ إِنَّهُمُ الأَعْرَابُ وَإِنَّهُمْ يَرْضَوْنَ باِلْيَسِيْرِ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: إِنَّ أَبَا هَذَا كَانَ وِدًّا لِعًمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: “إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وِدِّ أَبِيْهِ “
3. Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa ia pernah menemui seorang Arab Baduwi di satu jalan di Mekah. Abdullah mengucapkan salam kepada mereka. Ia lalu membawa orang itu naik keledai yang tadinya dinaikinya dan memberi surban yang tadi berada di kepalanya. Ibnu Dinar berkata, “Kami berkata kepadanya, “Mudah-mudahan Allah memperbaikimu. Mereka itu orang-orang Arab Baduwi. Mereka terima barang sederhana itu.” Abdullah berkata, “Ayah orang itu dulu merupakan kekasih Umar bin Khatthab. Sedangkan aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kebajikan paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang dekat ayahnya.” [Muslim, hadits no. 2552]
عَنْ أَبِي أَيُّوْبَ الأَنْصَارِي رَضِيَ َاللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ. قَالَ: “مَالُهُ مَالُهُ “. وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَرِبَ مَالُهُ تَعْبُدُ اللهَ ، وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ “
4. Abu Ayyub Al-Anshari r.a. meriwayatkan, seseorang berkata kepada Nabi saw, “Katakan kepadaku tentang suatu amal yang memasukkanku ke surga.” Beliau menjawab, “Hak-Nya, hak-Nya.” Nabi melanjutkan, “Hak-Nya adalah agar kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan silatur-rahim.” [Bukhari, Fathul Bari III (1396) dengan redaksi miliknya. Muslim (14)]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللهَ لَيُعَمِّرُ لِلْقَوْمِ الدِّيَارَ، وَيُثْمِرُ لَهُمُ الأَمْوَالَ، وَمَا نَظَرَ إِلَيْهِمْ مُنْذُ خَلَقَهُمْ بَغْضاً لَهُمْ” قِيْلَ: وَكَيْفَ ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهَ؟ قَالَ ” بِصِلَتِهِمْ لأَرْحَامِهِمْ”
5. Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah pasti akan memakmurkan negeri suatu kaum, membuat harta benda mereka berkembang, dan sejak menciptakan mereka tidak pernah melihat mereka dengan kemurkaan.” Ada yang bertanya, “Bagaimana itu terjadi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dengan silatur rahim mereka.” [Al-Hakim (4/336) dan ia berkata, "Hadits shahih gharib dan Adz-Zahabi sepakat. Haitsami berkata, "Diriwayatkan Thabrani dengan sanad hasan. Majma' Az-Zawaid (8/152), Al-Munziri menukilnya di Targhib dan Tarhib (3/336), Haitsami juga menyebutkan teksnya]
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ الرَّحِمَ شَجِنَةٌ مُتَمَسِّكَةٌ بِالْعَرْشِ تَكَلَّمَ بِلِسَانٍ ذَلِقٍ، اَللَّهُمَّ صِلْ مَنْ وَصَلَنِي وَاقْطَعْ مَنْ قَطَعَنِي، فَيَقُوْلُ الله تَبَارَكَ وَتَعَالَي : أَنَا الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ، وَإِنِّي شَقَقْتُ لِلرَّحِمِ مِنْ اِسْمِي. فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ نَكَثَهَا نَكَثْتُهُ
6. Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya rahim itu ikatan yang kokoh dengan Arasy yang berbicara dengan bahasa yang fasih, ‘Ya Allah, sambunglah orang yang menyambungku dan putuslah orang yang memutuskanku.’ Allah befirman, ‘Akulah Ar-Rahman dan Aku Ar-Rahim. Sesungguhnya Aku mengeluarkan (kata) rahim dari nama-Ku. Siapa menyambungnya Aku menyambungnya dan siapa memutusnya Aku juga memutusnya.” [Hadits ini mempunyai dasar di Bukhari, Al-Fath 10 (5988). Adabul Mufrid juz I hlm. 92-93 nomor hadiys 53, 54, 55. Majma' Az-Zawaid (8/151). Sedangkan redaksi hadits di atas ada di kitab terakhir ini. Diriwayatkan Bazzar dengan sanad hasan. At-Targhib wa At-Tarhib (3/340), penulisnya berkata, "Hadits ini hasan dan ia didukung hadits berikutnya."]
عَنْ أَبِّي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللهََ خَلَقَ الْخَلْقَ، حَتَّى إِذَا فَرِغَ مِنْ خَلْقِهِ قَامَتِ الرَّحِمُ فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَةِ، قَالَ نَعَمْ، أَمَّا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكَ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكَ ؟ قَالَتْ: بَلَي يَارَبِّ. قَالَ: فَذَاكَ لَكَ ” ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “اِقْرَءُوْا إِنْ 7. Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai menciptakan, rahim berdiri dan berkata, ‘Inilah tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari memutuskan hubungan.’ Allah menjawab, ‘Benar. Ridhakah kamu jika Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan orang yang memutuskanmu.’ Ia menjawab, ‘Mau, wahai Tuhanku.’ Allah berfirman, ‘Itu menjadi milikmu.’ Setelah itu Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian mau, bacalah…”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 22-24). [Bukhari, Fathul Bari I (5987). Muslim (2554). At-Targhib wa At-Tarhib (3/338,339)]
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: أَوْصَانِي خَلِيْلِي أَنْ لاَ تَأْخُذَنِي فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٌ، وَأَوْصَانِي بِصِلَةِ الرَّحِمِ وَإِنْ أَدْبَرَتْ
8. Abu Dzar r.a. berkata, “Kekasihku (Rasullullah) berpesan kepadaku agar aku tidak menghiraukan cercaan orang yang mencerca. Dia juga berpesan agar aku bersilatur-rahim walaupun ia menjauhiku.”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ بْنِ حَرْبٍ رَضِيَ الله عَنْهُ أَخْبَرَهُ: أَنَّ هِرَقْلَ أَرْسَلَ إِلَيْهِ فِي رَكْبٍ مِنْ قُرَيْشٍ، وَكَانُوْا تُجَّاراً بِالشَّامِ فِي الْمُدَّةِ الَّتِي كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (ماد…؟ ) فِيْهَا أَبَا سُفْيَانَ وَكُفَّارَ قُرَيْشٍ، فَأْتُوْهُ وَهُمْ بإِيِلِيَاءِ، فَدَعَاهُمْ فِي مَجْلِسِهِ وَحَوْلَهُ عُظَمَاءُ الرُّوْمِ، ثُمَّ دَعَاهُمْ وَدَعَا بِتُرْجُمَانِهِ فَقَالَ: أَيُّكُمْ أَقْرَبُ نَسَبًا بِهَذَا الرَّجُلُ الََّذِى يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ ؟ فَقَالَ أَبُوْ سُفْيَانَ: فَقُلْتُ: أَنَا أَقْرَبُهُمْ نَسَبًا. فَقَالَ أَدْنُوهُ مِنِّي، وَقَرِّبُوْا أَصْحَابَهُ فَاجْعَلُوْهُمْ عِنْدَ ظَهْرِهِ، ثُمَّ قَالَ لِتُرْجُمَانِهِ: قُلْ لَهُمْ إِنِّي سَائِلُ هَذَا الرَّجُلِ، فَإِنْ كَذَّبَنِي فَكَذِّبُوْهُ. فَوَاللهِ لَوْلاَ الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَّبْتُ عَنْهُ .. الحديث وَفِيْهِ: مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ :يَقُوْلُ: اعْبُدُوا اللهَ وَحْدَهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأمُرُنَا بِالصَّلاَةِ، وَالصِّدْقِ، وَالْعَفَافِ، وَالصِّلَةِ…)
9. Abdullah bin Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Abu Sufyan bin Harb r.a. bercerita kepadanya, Hiraclius mengutus seseorang bersama kafilah Quraisy, mereka para pedagang yang berdagang ke Syam. Dan pada saat itu Rasulullah saw. berdamai dengan Abu Sufyan serta orang-orang kafir Quraisy. Mereka mendatangi Abu Sufyan kala mereka berada di Iliya’. Orang itu mengundang mereka agar datang di majelisnya sedangkan di sekitarnya terdapat para pembesar Romawi. Ia juga memanggil penterjemah lalu bertanya, “Siapakah di antara kalian yang lebih dekat nasabnya dengan orang yang mengaku nabi itu?” Abu Sufyan menjawab, “Akulah yang paling dekat nasabnya.” Orang itu berkata lagi, “Dekatkan ia denganku.” Mereka mendekatkan Abu Sufyan dan dekatkan pula sahabat-sahabatnya, lalu tempatkan mereka di belakangnya. Orang itu berkata kepada para penerjemahnya, “Katakan kepadanya, aku akan bertanya kepada orang tersebut. Kalau ia berdusta, dustakan dia.” Demi Allah, seandainya bukan karena rasa malu hingga membuat mereka mengalamatkan dusta kepadaku, pastilah aku akan berbohong tentang dirinya. (Al-Hadits). Di hadits itu juga diceritakan, “Kalian diperintah apa olehnya?” Ia menjawab, “Sembahlah Allah dan sekutukan Dia dengan suatu apapun, juga tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang mereka. Ia juga memerintahkan agar kami melakukan shalat, jujur, menjaga iffah, dan silatur-rahim.”
عَنْ أُمِّ رُوْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: بَيْنَ أَنَا عِنْدَ عَائِشَةَ إِذْ دَخَلَتْ عَلَيْنَا امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ، فَقَالَتْ: فَعَلَ الله بِاِبْنِهَا وَفَعَلَ. قَالَتْ عَائِشَةُ: وَلِمَ ؟ قَالَتْ: إِنَّهُ كَانَ فِيْمَنْ حَدَّثَ الْحَدِيْثَ . قَالَتْ عَائِشَةُ: وَأَىُّ حَدِيْثٍ؟ قَالَتْ: كَذَا وَكَذَا. قَالَتْ: وَقَدْ بَلَغَ ذَلِكَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَتْ: وَبَلَغَ أَبَا بَكْرٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَتْ: فَخَرَّتْ عَائِشَةُ مَغْشِيًّا عَلَيْهَا فَمَا أَفَاقَتْ إِلاَّ زَائِدَةً وَعَلَيْهَا حُمَي بِنَافِضٍ قَالَتْ: فَقُمْتُ فَدَثَّرْتُهَا. قَالَتْ: وَدَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ” مَا شَأْنُ هَذِهِ” ؟ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخَذَتْهَا حُمَي بِنَافِضٍ. قَالَ: “لِعِلَّةٍ فِي حَدِيْثٍ تَحَدَّثَ بِهِ”. قَالَتْ: فَاسْتَوَتْ لَهُ عَائِشَةُ قَاعِدَةً .قَالَتْ: وَالله لَئِنْ حَلَفْتُ لَكُمْ لاَ تُصَدِّقُوْنِي، وَلَئِنْ اعْتَذَرْتُ إِلَيْكُمْ لاَ تَعْذُرُوْنِي، فَمَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ يَعْقُوْبَ وَبَنِيْهِ، وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُوْنَ. قَالَتْ: وَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَتْ: وَأَنْزَلَ اللهُ عُذْرَهَا، فَرَجَعَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهُ أَبُوْ بَكْرٍ فَدَخَلَ فَقَالَ: ” يَا عَائِشَةَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَنْزَلَ عُذْرَكِ ” . قَالَتْ: بِحَمْدِ اللهِ لاَ بِحَمْدِكَ. قَالَتْ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ لَهَا: تَقُوْلِيْنَ هَذَا رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَتْ نَعَمْ. فَكَانَ فِيْمَنْ حَدَّثَ الْحَدِيْثَ رَجُلٌ كَانَ يَعُوْلُهُ أَبُوْ بَكْرٍ، فَحَلَفَ أَبُوْ بَكْرٍ، أَنْ لاَ يَصِلَهُ،  ولا يأتل أولوا الفضل منكم والسعة فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ (النور /22) إلي آخر الآية . قَالَ أَبُوبَكْرٍ : بَلَي فَوَصَلَهُ )
10. Ummi Ruman r.a. berkata, “Ketika aku berada di tempat Aisyah, tiba-tiba seorang perempuan Anshar masuk lalu berkata, bahwa Allah telah memperlakukan sesuatu kepada anaknya.” Aisyah berkata, “Mengapa?” Wanita itu menjawab, “Orang itu (anaknya) termasuk yang meriwayatkan hadits…” Aisyah bertanya, “Hadits apa?” orang itu menjawab, “Hadits yang itu.” Aisyah bertanya, “Apakah berita ini sampai kepada Rasulullah?” Orang itu menjawab, “Sudah.” Ia bertanya lagi, “Apakah juga kepada Abu Bakar?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu Aisyah jatuh pingsan. Itu tidak kunjung siuman kecuali menderita demam dan kejang-kejang. Ummi Ruman berkata, aku bangun dan menyelimutinya. Kemudian Rasulullah saw. masuk dan bertanya, “Kenapa dia?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, ia terkena demam kejang-kejang.” Beliau bersabda, “Karena ada cacat hadits yang dibicarakannya.” Ummu Ruman berkata, lalu Aisyah duduk tegak seraya berkata, “Demi Allah, kalau aku bersumpah di hadapan kalian pastilah kalian tidak percaya kepadaku dan jika aku meminta izin kepada kalian pastilah kalian tidak memberi izin kepadaku. Perumpamaan aku dengan kalian seperti Ya’qub dan anak-anaknya. Allah Tempat meminta pertolongan atas apa yang kalian katakan.” Lalu Rasulullah saw. keluar lalu turunlah ayat yang memberinya izin. Rasulullah lalu kembali bersama Abu Bakar seraya berabda, “Hai Aisyah, Allah telah menurunkan ayat tentang izinmu.” Ia berkata, “Dengan memuji Allah dan bukan memujimu.” Ia bercerita, kemudian Abu Bakar berkata, “Apakah kamu mengatakan hal ini kepada Rasulullah?” Ia menjawab, “Benar.” Maka yang termasuk orang yang menyampaikan hadits adalah orang yang pernah dipelihara Abu Bakar. Abu Bakar kemudian bersumpah untuk tidak bersilatur-rahim dengannya. Lalu turunlah ayat, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 22). Abu Bakar berkata, “Benar, lalu bersilatur-rahmi dengannya.”
عَنْ مَالِكِ بْنِ رَبِيْعَةَ السَّاعِدِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ. فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِمَا؟ قَالَ: ” نَعَمْ، الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا، الاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْفَاذُ عُهُوْدِهِمَا، وَإِكْرَامُ صَدِيْقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّذِى لاَ رَحِمَ لَكَ إِلا مِنْ قِبَلِهِمَا “
11. Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi r.a. berkata, “Ketika berada bersama Rasulullah tiba-tiba seseorang datang Bani Salamah lalu berkata, “Ya Rasulullah, apakah masih ada sisa kebaikan orang tuaku yang perlu aku lakukan sepeninggal mereka?” Beliau menjawab, “Ada. Berdoa untuk mereka, meminta ampunan untuk mereka, melaksanakan janji mereka, memuliakan teman-teman mereka, dan bersilatur-rahim dengan orang yang tidak ada hubungan keluarga selain melalui mereka.”
عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الأَنْمَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :” ثَلاَثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا فَاحْفَظُوْهُ، قَالَ: مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ، وَلاَ ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلاَّ زَادَهُ اللهُ عِزًّا، وَلاَ فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةً إِلاَّ فَتَحَ اللهُ لَهُ بَابَ فَقْرٍ – أَوْ كَلِمَةٌ نَحْوَهَا – وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا فَاحْفَظُوْهُ، قَالَ : إِنَّمَا الدُّنْيَا لأرَبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٌ رَزَقَهُ الله مَالاً وَعَمَلاً فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ. وَيَعْلَمُ للهِ فِيْهِ حَقًّا. فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٌ رَزَقَهُ الله عَزَّ وَجَلَّ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقُهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهًوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا وَهُوَ يُخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ، وَلاَ يَعْلَمُ للهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٌ لَمْ يَرْزُقْهُ الله مَالاً وَلاَ عَمَلاً، فَهُوَ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّ لِي مَالٌ لَعَمِلْتُ فِيْهِ بِعَمَلٍ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَتِهِ فَوِزْرُهًمَا سَوَاءٌ “
12. Abu Kabsyah Al-Anmari r.a. berkata, ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga hal yang aku bersumpah untuk hal itu dan aku sampaikan kepada kalian, maka peliharalah: Tidaklah harta hamba berkurang karena sedekah, tidaklah seorang tertimpa suatu kezhaliman kemudian ia bersabar kecuali Allah akan tambah kemuliannya kepadanya, dan tidaklah seorang hamba membuka pinta meminta-minta kecuali Allah akan bukakan untuknya pintu kemiskinan. Atau kata-kata lain seperti itu. Aku sampaikan pesan kepada kalian, peliharalah.” Beliau melanjutkan, “Dunia ini untuk empat kelompok: (1) Seorang hamba yang dikarunia harta dan amal, maka orang itu bertakwa kepada Tuhannya atas harta dan bersulatur-rahmi. Ia juga mengetahui bahwa Allah punya hak terhadap hartanya. Inilah kedudukan paling mulia. (2) Seorang hamba dikaruniai ilmu namun tidak dikaruniai harta. Orang itu jujur dengan niatnya ketika mengatakan, ‘Kalau saja aku punya harta, tentu aku akan melakukan amal sebagaimana orang itu. Dengan niatnya itu pahala mereka bedua sama. (3) Seorang hamba yang dikaruniai harta namun tidak dikarunia ilmu. Ia merusak harta tanpa ilmu. Tidak bertakwa kepada Allah atas hartanya dan tidak bersilatur-rahim serta tidak tahu bahwa Allah mempunyai hak atas hartanya. Ini kedudukan terburuk. (4) Seorang hamba yang tidak dikaruniai harta maupun ilmu. Ia pernah berkata, ‘Seandainya aku mempunyai harta, pasti aku akan melakukan seperti yang dilakukan orang itu (perbuatan buruk). Maka dengan niatnya itu dosa mereka berdua sama.”
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَي الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ، وَعَلَي ذِيْ الرَّحِمِ اثْنَتَانِ : صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
13. Salman bin Amir r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sedekah yang diberikan kepada orang miskin hanya satu sedekah. Sedangkan yang diberikan kepada keluarga terdapat dua pahala: sedekah dan silatur-rahim.”
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ: “صِلَةُ الرَّحِمِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ، أَوْ حُسْنُ الْخُلُقِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ، وَيَزِيْدَانِ فِي الأَعْمَارِ”
14. Aisyah r.a. berkata, “Silatur-rahim dan berbuat baik kepada tentangga, atau atau akhlak yang baik akan memakmurkan negeri dan menambah usia.”
عَنْ أَسْمَاءَ رَضِيَ الله عَنْهَا قَالَتْ قَدَمْتُ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ وَمُدَّتِّهِمْ، إذْ عَاهَدُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَبِيْهَا، فَاسْتَفْتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: إِنَّ أُمِّي قَدَمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ ( يَعْنِي فِي صِلَتَِها ) قَالَ: ” نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ “
15. Asma’ r.a. berkata, “Aku datang kepada ibuku yang musyrik, ia berada pada kekuasaan orang-orang Quraisy ketika mereka mengadakan perjanjian dengan Nabi bersama ayahnya. Aku meminta fatwa kepada Nabi, “Ibuku datang dan sangat berharap (yakni silatur-rahim).” Beliau bersabda, “Bersilatur-rahimlah kepada ibumu.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ شَيْءَ أُطِيْعُ اللهَ فِيْهِ أَعْجَلُ ثَوَاباً مِنْ صِلَةِ الرَّحِمِ، وَلَيْسَ شَيْءَ أَعْجَلُ عِقَاباً مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ، وَالْيَمِيْنُ الفَاجِرَةُ تَدَعُ الدِّيَارَ بلاقع ..
16. Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada yang lebih besar ketaatannya kepada Allah dan lebih disegerakan pahalanya selain silatur-rahim, tidak ada yang lebih disegerakan hukumannya selain pembangkangan dan memutuskan silatur-rahim, dan sumpah jahat membuat negeri….”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهِ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ. وَلَكِنَّ الوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”
17. Abdullah bin Amr bin ‘Ash r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah orang yang menyambung silatur-rahim itu yang memberi, tapi orang yang menyambung silatur-rahim adalah yang jika diputus rahimnya ia menyambung.”
: ” منعن علي ـ رضي الله عنه ـ قال : قال رسول الله سره أن يمد له في عمره ويوسع له في رزقه ، ويدفع عنه ميتة السوء ، فليتق الله ، وليصل رحمه “
18. Ali r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang senang dipanjangkan umurnya, diluaskan rezekinya, dan dijauhkan dari kematian yang buruk, hendaknya ia bertakwa kepada Allah dan bersilatur-rahim.”
19. Abdullah bin Salam r.a. berkata, ketika Nabi sampai ke Madinah, orang-orang berbondong-bondong menuju beliau. Ada juga yang meriwayatkan, Rasulullah sudah sampai ke Madinah sejak tiga hari. Aku datang untuk melihatnya. Ketika wajahnya telah jelas, aku tahu bahwa wajah beliau bukan wajah pendusta. Hal pertama yang aku dengar darinya adalah saat beliau mengatakan, “Hai sekalian manusia, sebarkan salam, beri makan (orang miskin), bersilatur-rahimlah, dan shalatlah di malam hari saat orang-orang sedang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.”
20. Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya memuliakan tetangganya. Siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya bersilatur-rahim. Dan siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendanya ia berkata baik atau diam.”
21. Seseorang dari Khaitsam meriwayatkan, aku datang menemui Nabi saw. yang kala itu beliau sedang bersama beberapa orang sahabatnya. Aku katakan, “Kamukah orangnya yang mengaku sebagai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Benar.” Ia berkata lagi, “Ya Rasulullah, amal apakah yang paling dicintai Allah.” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah.” Aku katakan, “Ya Rasulullah, lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian silatur-rahim.” Aku katakan, “Ya Rasulullah, lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian amar ma’ruf nahi mungkar.” Aku tanyakan, “Perbuatan apa yang paling dibenci Allah?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah.” Aku tanyakan, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Memutuskan silatr-rahmi.” Aku tanyakan lagi, “Apa lagi?” Beliau menjawab, “Memerintahkan yang mungkar dan mencegah yang ma’ruf.”
22. Uqbah bin Amir meriwayatkan, aku menemui Rasulullah dan aku mulai mendahului beliau untuk memegang tangannya. Namun ternyata beliau mendahuluiku dan memegang tanganku seraya berkata, “Ya Uqbah, maukah kamu aku beritahu tentang akhlak terbaik milik penduduk dunia maupun akhirat? Kamu menyambung orang yang memutuskan silatur-rahim, memberi kepada orang yang mengharamkan (untuk memberimu), dan memaafkan orang yang menzhalimimu. Ketahuilah, siapa yang ingin dipanjangkan umurnya, dilapangkan rezkinya, hendaknya ia menyambung silatur-rahim.”

http://www.dakwatuna.com/2007/silatur-rahim-bagian-3/
Komentar para Ulama dan Ahli Tafsir tentang Silatur Rahim
1. Umar bin Khatthab berkata, “Pelajarilah nasab kalian dan bersilatur-rahimlah kalian. Demi Allah, antar seseorang dengan saudaranya pasti ada sesuatu. Jika saja ia tahu silatur-rahim yang berada di antara dirinya dan saudaranya, pasti ia akan menjaganya agar tidak rusak.”
2. Ali bin Abi Thalib berkata, “Jika aku bersilatur-rahim kepada saudara-saudaraku dengan satu dirham, tentu lebih aku sukai daripada menyedekahkan dua puluh dirham. Dan kalau aku bersilatur-rahim dengan seratus dirham, tentu lebih aku sukai daripada memerdekakan budak.”
3. Sa’ad bin Musayyab berkata, pada saat itu ia telah meninggalkan beberapa dinar, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku tidak mengumpulkannya kecuali untuk memelihara agama dan nasabku. Tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak mengumpulkan harta untuk membayar hutangnya, bersilatur-rahim, dan menutupi mukanya.”
4. Amr bin Dinar berkata, “Ketahuilah olehmu, tidak ada langkah yang lebih agung setelah langkah untuk menunaikan kewajiban selain langkah menuju kerabat.”
5. Sulaiman bin Musa berkata, ada yang berkata kepada Abdullah bin Muhairiz, “Apa hak rahim?” Ia menjawab, “Kamu menghadapnya dia menghadap dan mengikutinya jika ia berpaling.”
6. Ibnu Jarir At-Thabari berkata, “Silatur-rahim itu dilakukan dengan menunaikan hak-haknya yang berupa hak-hak Allah yang lebih wajib ditunaikan dan berlaku lembut kepadanya sesuai dengan haknya untuk disikapi dengan lembut.”
Hukum Shilatur Rahim dan Tingkatan-tingakatannya
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa shilatur rahim hukumnya wajib dan Qath’ur rahim merupakan kemaksiatan dan dosa besar. Banyak hadits yang mendukung hal ini. Shilatur rahim memiliki tingkatan-tingkatan. Salah satunya lebih tinggi dari yang lain. Sedangkan yang yang paling rendah adalah tidak mogok berbicara atau mengucapkan salam kepada kerabat. Tingkat anjurannya pun berbeda-beda tergantung kemampuan. Ada kalanya wajib dan ada kalanya mustahab (sunnah). Kalau seseorang menyambung shilatur rahim dengan sebagian dan tidak sampai kepada tujuannya, hal itu tidak dianggap sebagai memutuskan shilatur rahim. Juga kalau seseorang tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, ia tidak terhitung sebagai orang yang menyambung silatur rahim.
As-Shilah dalam bentuk kebajikan dan perbuatan baik.
Abul Barakat Badruddin Muhammad Al-Ghazi berkata, “Dilakukan dengan cara pergaulan yang baik bersama keluarga, anak-anak, keluasan akhlak dan jiwa, nafkah yang mencukupi, mengajar adab dan sunnah, serta mengajak mereka agar taat. Firman Allah, ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu. Padanya terdapat malaikat yang keras lagi tegas. Yang tidak pernah bermaksiat kepada Allah atas apa yang diperintahkannya dan selalu melaksanakan apa yang diperintahlkan kepada mereka.’ (At-Tahrim: 5). Memaafkan kesalahan mereka dan tidak mengungkit kekurangan mereka yang bukan dosa ata kemaksiatan.”
Al-Mutsanna berkata, “Aku berkata kepada Abu Abdullah, ‘Orang tadi mempunyai kerabat wanita. Mereka tidak berdiri di hadapannya. Kebaikan apa yang wajib ditunaikan? Dan selang berapa lama ia mesti datang kepada mereka.’ Ia menjawab, ‘Berlaku lembut dan mengucapkan salam.’”
Abu Al-Khatthab dan yang lain berkata dalam masalah pemerdekaan budak. Bahwa Allah akan melaknat dan menghapuskan amal orang yang memutuskan shilatur rahim. Perlu diketahui bahwa Islam tidak mewajibkan shilatur rahim kepada semua keluarga dan kerabat. Sebab jika begitu, berarti wajib bersilatur rahim kepada semua anak cucu Adam. Maka perlu ada pembatasan yang jelas bagi kerabat yang harus disilatur-rahimi dan dimuliakan serta diharamkan untuk diputuskan. Dan jelas yang dimaksudkan adalah kerabat rahim yang muhrim. Hal itu telah ditegaskan oleh sabda Rasulullah saw.:
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَي عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَي خَالَتِهَا ، وَلاَ عَلَي بِنْتِ أَخِيْهَا وَأُخْتِهَا ، فَإِنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ أَرْحَامَكُمْ
“Tidaklah seorang wanita dinikahi bersama bibinya (dari jalur ayah) dan bibinya (dari jalur ibu), juga tidak dinikahi bersama anak saudara laki-laki dan saudara perempuannya. Sebab jika kalian lakukan itu, kalian telah memutuskan hubungan rahim kalian.”
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa tidak wajib bersilatur rahim selain kepada kerabat yang muhrim. Inilah pendapat sebagian ulama. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat seperti yang pertama, bahwa yang wajib disilatur rahimi adalah kerabat yang muhrim atau bukan muhrim. Sementara Abu Al-Khatthab berpendapat kewajiban silatur rahim tidak sekedar salam. Pendapat Imam Ahmad terdapat beberapa interpretasi. Al-Fadhl bin Abdus Shamad berkata kepada Abu Abdullah, “Seseorang mempunyai beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan di tanah ghasab (hasil sabotase). Apakah menurutmu, ia perlu berkunjung kepada mereka?” Ia menjawab, “Betul, ia perlu mengunjungi mereka serta memberi semangat kepada mereka agar keluar dari tanah sabotase itu. Itu jika mereka mau. Jika tidak mau, tidak perlu tinggal bersama mereka namun jangan sampai tidak mengunjungi mereka.”
Hak-hak Kerabat dan Keluarga
قال رسول الله r : يقول الله تعالي : أنا الرحمن وهذه الرحم شققت لها اسما من اسمي فمن وصلها وصلته ومن قطعها قطعته
Rasulullah saw. bersabda, “Allah berfirman, ‘Akulah Ar-Rahman, dan rahim ini dikeluarkanlah nama dari nama-Ku. Siapa menyambungnya Aku akan menyambungnya dan siapa memutusnya Aku memutusnya.”
وقيل لرسول الله r ” أي الناس أفضل” ، قال : ” أتقاهم لله وأوصلهم لرحمه وآمرهم بالمعروف وأنهاهم عن المنكر
Ada yang bertanya kepada Rasullullah saw., “Manusia yang manakah yang paling mulia?” Beliau menjawab, “Yang paling bertakwa, yang paling baik menyambung shilatur rahim, yang paling baik dalam memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.”
Rasulullah saw bersabda:
الصدقة على المسكين صدقة وهي على ذي الرحم اثنتان :” صدقة وصلة
“Bersedekah kepada orang miskin itu satu sedekah (pahalanya) dan sedekah kepada kerabat dua sedekah (pahalanya): (pahala) sedekah dan (pahala) shilatur rahim.”
Ketika Abu Thalhah hendak menyedekahkan kebun yang sangat dicintainya demi merealisasikan firman Allah, “Tidaklah kalian mendapatkan kebajikan sampai kalian menginfakkan dari apa yang kalian cintai.” Ia berkata, “Ya Rasulullah, kebun itu (aku serahkan) di jalan Allah, untuk orang-orang fakir, dan orang-orang miskin.” Rasulullah bersabda:
وجب أجرك واقسمه في أقاربك
“Kamu berhak mendapatkan pahalamu dan bagilah untuk kerabatmu.”
Diriwayatkan bahwa Umar pernah menulis surat kepada para pegawainya, “Perintahkan kepada para keluarga agar saling mengunjungi dan tidak saling melampaui batas.” Dia katakan itu karena melampaui batas cenderung melahirkan sikap mengabaikan hak-hak, bahkan bisa melahirkan sikap kasar dan memutuskan shilatur rahim.
Ibnu Manshur berkata kepada Abu Abdullah, “Ada orang mencium seorang perempuan muhrim.” Ia menjawab, “Jika ia datang dari bepergian lalu tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri (boleh saja).” Nabi saw sendiri pernah melakukan hal serupa ketika beliau baru datang dari perang, beliau mencium Fathimah. Namun tidak pernah beliau mencium bagian mulut sama sekali. Kening atau kepala.
Realisasi Shilatur Rahim dalam Kehidupan Nabi
Abdul Muthallib bin Rabi’ah bin Al-Harits menceritakan, “Rabi’ah bin Al-Harits pernah berkumpul bersama Abbas bin Abdul Muthallib lalu keduanya berkata, ‘Demi Allah, bagaimana kalau kedua anak ini kita utus (yang dimaksudkan adalah aku dan Al-Fadhl bin Abbas) menemui Rasulullah saw. Namun Rabi’ah menimpali, ‘Demi Allah, Anda tidak melakukan hal ini selain karena rasa iri Anda kepada kami. Demi Allah, aku sendiri telah berhasil menjalin persaudaraan dengan Rasulullah dan kami tidak pernah dengki kepada Anda.’ Ali berkata, ‘Utus saja keduanya.’ Lalu keduanya pergi dan Ali pun kemudian berbaring. Dikisahkan, ketika Rasulullah selesai shalat Dzuhur, kami mendahului beliau ke kamar. Kami berdiri menunggu di sana. Sampai beliau datang lalu menjewer telinga kami. Beliau bersabda, ‘Sampaikan semua pembicaraan yang telah kalian lakukan.’ Beliau masuk dan kami pun ikut masuk. Dan kala itu beliau berada di rumah Zainab binti Jahsy. Kami pun memulai pembicaraan dan salah seorang di antara kami berkata, ‘Ya Rasulullah, engkau adalah manusia paling baik dan paling erat menyambung silatur rahim. Kami telah mencapai usia nikah. Kami minta agar engkau mengutus kami mengurus sebagian sedekah ini lalu kami beri bagian engkau sebagaimana kami beri juga orang lain. Kami juga mendapatkan bagian sebagaimana orang lain mendapat bagian. Lalu beliau diam lama sekali sampai-sampai kami ingin berbicara kepada beliau. Tiba-tiba Zainab memberi isyarat dari balik tabir agar tidak mengajak beliau berbicara dulu. Beliau bersabda, ‘Sedekah itu tidak layak bagi keluarga Muhammad, karena ia adalah harta sisa orang. Panggillah Mahmiyyah dan Naufal bin Al-Harits bin Abdul Muthallib. Kemudian kedua orang itu datang dan beliau bersabda kepada Mahmiyyah, ‘Nikahkan anak ini dengan anakmu (maksudnya Fadhl bin Abbas).’ Dan orang itu pun menikahkannya. Beliau juga bersabda kepada Naufal, ‘Setelah itu beliau bersabda lagi kepada Mahmiyyah, ‘Berilah bagian dari seperlima (hak Nabi) untuk mereka sekian dan sekian.’ (Muslim).
عن عمرو بن العاص – رضي الله عنه – قال : قال رسول الله r جهار غير سرر :” إن آل أبي – قال عمرو في كتاب محمد بن جعفر – بياض – ليسوا بأوليائي ، وإنما وليي الله وصالح المؤمنين ، زاد عنبسة بن عبد الواحد عن بيان ، عن قيس ، عن عمرو ابن العاص ، قال : سمعت رسول الله r ” ولكن لهم رحم أبلها ببلالها يعني أصلها بصلتها
Amr bin Ash r.a. berkata, Rasulullah bersabda dengan terang-terangan dan tidak rahasia, “Sesungguhnya keluarga Abu –Amr mengatakan, pada tulisan Muhammad bin Ja’far– putih saja (nama kunyah itu tidak tertulis)– mereka bukan wali-waliku. Waliku adalah Allah dan orang-orang mukmin yang shalih.’ Anbasah bin Abdullah bin Abdul Wahid menambahkan dari Bayan dan dari Qais dan dari Amr bin Ash. Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Akan tetapi ia mempunyai kekerabatan dan yang paling baik adalah yang paling baik menyambung kekerabatan itu.”
عن المسور بن مخرمة – رضي الله عنه – قال : إن رسول الله r قال : ” فاطمة بضعة مني ، فمن أغضبها أغضبني
Al-Musawwir bin Al-Mukhrimah r.a. berkata, sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Fathimah adalah sebagian dari dagingku. Siapa membuatnya marah berarti ia juga membuatku marah.”
عن عائشة – رضي الله عنها – قالت : ما غرت على نساء النبي r إلا علي خديجة ، وإني لم أدركها ، قالت : وكان رسول الله r إذا ذبح الشاة فيقول : ” أرسلوا بها إلي أصدقاء خديجة ” قالت : فأغضبته يوما فقلت : خديجة ؟ فقال رسول الله r : ” إني رزقت حبها
Aisyah r.a. berkata, “Aku tidak cemburu kepada istri-istri Nabi (yang lain) selain kepada Khadijah. Dan aku tidak bisa menyainginya. Jika Rasulullah memotong kambing beliau selalu mengatakan, “Kirimlah ini ke teman-teman Khadijah.” Pada suatu hari aku membuat beliau marah. Kataku, ‘Khadijah?’ Beliau bersabda, “Aku dikaruniai kecintaan terhadapnya.” (Bukhari Muslim).
عن أبي هريرة – رضي الله عنه قال : لما نزلت هذه الآية } وأنذر عشيرتك الأقربين { ( الشعراء /214) ، دعا رسول الله r قريشا ليجتمعوا . فعم وخص . فقال: ” يا بني كعب بن لؤي ، أنقذوا أنفسكم من النار ، يا بني مرة بن كعب ! أنقذوا أنفسكم من النار ، يا بني عبد شمس ! أنقذوا أنفسكم من النار ، يا بني عبد مناف ! أنقذوا أنفسكم من النار ، يا بني هاشم أنقذوا أنفسكم من النار ، يا بني عبد المطلب ! أنقذوا أنفسكم من النار . إني لا أملك لكم من الله شيئا . غير أن لكم رحما سأبلها ببلالها
Abu Hurairah berkata, “Ketika ayat ini turun, ‘Dan berilah peringatan kepada kerabat dekatmu.’ (As-Syu’ara’: 214). Rasulullah mengundang orang-orang Quraisy agar mereka berkumpul. Beliau memanggil mereka secara umum maupun khusus. Beliau bersabda, ‘Hai Bani Ka’ab bin Lu’ay! Selamatkan diri kalian dari neraka! Hai Bani Murrah bin Ka’ab! Selamatkan diri kalian dari neraka! Hai Bani Abdu Syams! Selamatkan diri kalian dari neraka! Hai Bani Abdu Manaf! Selamatkan diri kalian dari neraka! Hai Bani Hayim! Selamatkan diri kalian dari neraka! Hai Bani Abdul Muthallibh! Selamatkan diri kalian dari neraka! Aku tidak memiliki sesuatu pun dari Allah untuk kalian. Hanya saja kalian mempunyai kekerabatan (denganku). Aku akan berbuat baik (melalui kekerabatan itu).” (Muslim).
Manfaat Shilatur Rahim
1. Tergapainya keluasan rezeki dan keberkahan usia.
2. Mendapatkan keridhaan Allah dan cinta hamba.
3. Menguatkan tali penghubung masyarakat: antara satu pribadi dalam keluarga dan antara keluarga itu sendiri. Baik melalui perkawinan maupun nasab. Kendatipun tidak merambah kepada seluruh masyarakat.
4. Merasakan kebersamaan Allah dan mendapatkan dukungan dari Allah yang Maha Kuat, Maha Perkasa, lagi Maha Menyambung.
5. Menguatkan hubungan antar kerabat dekat. Dimana menyambung kerabat dekat lebih banyak pahalanya dari pada yang jauh.
STUDI SYARI’AH

A. Syari’ah
Secara etimologis syri’at berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan asal yang dituruti, atau tempat lalu air di sungai. Arti terakhir ini diartikan orang Arab sampai saat ini. Kata syari’at muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti pada ayat-ayat berikut:








Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkandan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kami kembali, lalu didiberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu selisihkan.
Pada ayat lain dinyatakan:


Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan jangalah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, jelas bahwa kata syri’at mengandung arti agama yang diturunkan Allah dan jalan yang lurus yang membawa kepada kepada kemenangan. Dalam ayat-ayat tersebut, agama yang ditetapkan untuk manusia, disebut syari’at karena dengan mengikuti umat manusia akan selalu memperoleh kemenangan dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat. Makna yang terkandung dari kata syari’at itu mampu membersihkan jiwa manusia seperti air membersihkan kotoran. Allah menjadikan air penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan, demikian juga Allah menjadikan syari’at sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa syari’at adalah segala khitab (perintah) Allah dengan berhubungan dengan tindak-tanduk manusia.
Syariat Islam yang diturunkan Allah kepada umat manusia bertujuan agar mereka dapat mencapai kemaslahatan. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai itu disebut maqasid asy-Syari’ah. Menurut imam Al-Ghazali, kemaslahatan bagi manusia akan dapat tercapai apabila terpelihara lima hal, yaitu agama , jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima hal inilah yang menjadi pokok tujuan dari syari’ pembuat hukum allah SWT .
Hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan akidah,agama, pidana, larangan meminum-minuman yang menghilanglan akal, perkawinan yang bertujusn menjaga keturunan, warisan, dan lain-lain, dimaksudkan untuk memelihara tujuan syari’.
Dalam usaha memelihara tujuan syari’ itu. Abu Ishaq Asy – Syatibi (w 790 H/1228 M; ahli fiqih, ushul fiqih, tafsir, bahasa dan hadis) berpendapat bahwa ada tiga kategori atau peringkat kebutuhan yang perlu dipenuhi dan dipelihara eksistensinya, yaitu dharuriyah (keperluan), hajiyah (kebutuhan). Dan tahsiniyah (perbaikan).
Kebutuhan daruriyah adalah kebutuhan untuk memelihara eksistensi kelima pokok maslahat di atas. Kebutuhan ini sangat esensial : tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mengakibatkan rusaknya kemaslahatan manusia di dunia maupun di akhirat. Perintah yang berhubungan dengan ibadah, di antaranya shalat, puasa, dan zakat, bertujuan agar eksistensi agama tetap terpelihara.
Kebutuhan hajiyah diperlukan untuk memelihara berbagai hal yang berhubungan dengan kelestarian dan kesinambungan kelima pokok maslahat. Kebutuhan ini berada pada peringkat kedua. Apabila ini tidak terpenuhi, eksistensi kelima pokok maslahat tidak terancam walaupun membawa kesulitan bagi manusia. Misalnya, puasa yang daruriyah itu akan menimbulkan kesulitan jika dilaksanakan orang sakit atau musafir. Dalam keadaan seperti itu, orang tertentu dapat meninggalkan kewajiban itu, tetapi harus di ganti pada hari yang lain.
Syariat islam memiliki ciri khusus , di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Hukum-hukum yang ditetapkan bersifat umum, sehingga kemungkinan berijtihad terhadap sesuatu hukum untuk disesuaikan dengan perkembagan zaman dan dinamika masyarakat.
2. Hukum-hukum yang ditetapkan di dasarkan atas pertimbangan –pertimbangan keagamaan dan akhlak.
3. Adanya balasan rangkap yang diperoleh karena melaksanakan hukum itu, yaitu balasan yang diperoleh di dunia dan di akhirat.
4. Hukum-hukumnyabersifat kolektif, ditetapkan untuk kepentingan dan kemaslahatan umum (li masalih al ‘ammah).





Syariat Islam pada dasarnya tidak memberikan manusia. Karena, penetapannya ditempuh melalui beberapa pertimbangan yang mendasar, di antaranya adalah:

1. segala hukum yang ditetapkan tidak memberikan
2. penetapan suatu hukumyang ditujuksn untuk mengubah suatu kebiasaan buruk dalam masyarakat di lakukan secara berangsur – angsur .
3. penetapan suatu hukum sejalan dengan kebutuhan dan kebaikan orang banyak, dan
4. hukum ditetapkan berdasarkan persamaan hak dan keadilan yang merata bagi semua orang.

Syariat islam yang beruhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang dewasa yang wajib melaksanakan syariat agama) dapat dibagi atas lima bagian, yaitu:
1. wajib, yaitu suatu tuntunan/perintah (syari’) pada mukallaf untuk mengerjakan sesuatu dengan tuntunan yang pasti dan tegas. Jika dilasanakan, pelakunya di beri pahala, jika ditinggalkan, ia mendapatkan dosa, seperti shalat.
2. Mandub, yaitu suatu tuntutan / suatu perintah syari’ pada orang mukallaf untuk mengerjakan sesuatu dengan tuntutan yang tidak tegas. Mukallaf boleh memilih, mengerjakan atau tidak. Jika dikerjakan pelakunya di beri pahala, dan jika diinggalkan, ia tidak mendapat siksa. Misalnya , mengerjakan shalat sunnah.
3. Haram, yaitu suatu tuntutan/perintah syari’ pada mukallaf untuk meniggalkan suatu pekerjaan dengan yang tegas. Jika dikerjakan, pelakunya mendapat siksa , dan jika ditinggalkan , ia mendapat pahala. Misalnya berbuat zina dan makan babi.
4. Makruh, yaitu suatu tuntutan / perintah syari’ pada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan yang tidak tegas. Mukalaf boleh memilih, suatu pekerjaan
5. Mubah, yaitu tuntutan syari’ yang membolehkan mukallaf untuk memilih mengerjakan atau tidak mengerjakan. Syari’ dalam hal ini tidak menuntut mukallaf untuk mengerjakan atau meningggalkannya. Mengerjakan atau meninggalkan tuntutan ini tidak mendapat pahala atau dosa, seperti makan dan minum.

B.Tasyri’
Kata tasyri’ berasal dari akar kata yang sama dengan syri’at. Kata merupakan masdar dari fi’il sulasi mazid (kata kerja yang berimbuhan satu huruf), setimbang dengan taf’il yang berarti membuat atau menetapkan syari’at. Jika syari’at itu diartikan dengan hukum atau tata aturan yang ditetapkan Allah yang menyangkut tindak-tanduk manusia, maka tasyri’ dalam hal ini adalah penetapan hukum dan tata aturan tersebut. Perbedaan antara syri’at dengan tasyri’ adalah syari’at itu adalah materi hukumnya, sedangakan tasyri’ penetapan materi yari’at tersebut. Dalam hal ini pengetahuan tentang tasyri’ berarti pengetahuan tentang cara, proses, dasar, dan tujuan Allah menetapkan hukum bagi tindak –tanduk manusia dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang syari’at berarti pengetahuan tentang hakikat dan rahasia hukum-hukum syari’at yang telah ditetapkan Allah.

C.Fikih
Kata fikih secara etimologis berarti paham yang mendalam. Bila kata paham dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fikih berarti faham yang mencakup ilmu zahir dan ilmu batin. Secara definisi, fikih berarti ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang digali dan ditemukan dari sumber-sumber hukum. Sulaimam Rasyid menjelaskan bahwa fikih menurut istilah adalah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara’ tentang perbuatan manusia yang daimbil dari dalil-dalil terperinci. Dalam Mu’jam Alfaz Al-Qur’an, Al-Ragib al-Asfahani, menjelaskan bahwa:


Artinya: Fikih adalah ilmu yang menghubungkan kepada ilmu yang gaib melalui ilmu yang nyata, fikih adalah ilmu khusus. Berdsarkan definisi di atas dapat dilihat hakekat fikih itu antara lain:
1. Bahwa fikih itu adalah ilmu tentang hukum syara’;
2. Bahwa yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah;
3. bahwa pengetahuan tentang hukum syara’ itu didasarkan kepada dalil tafsili;
4. bahwa fikih itu digali dan ditemukan melalui penalaran.

D. Hubungan Syari’at dengan Fikih
Semua tindakan manusia dalam tujuannya untuk mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasul. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian telah terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya. Yang disebut syari’at, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan di balik apa yang tertulis itu. Untuk mengetahui apa yang dikehendaki Allah, harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’at hingga secara amaliah syari’at itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi nyata. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci itu disebut fikih. Fikih itu biasanya dinisbahkan kepada mujtahid yang memformulasikannya, seperti fikih Hanafi, fikih Syafi’i, fikih Syi’ah, dan sebagainya. Sedangkan syara’ selalu dinishbahkan kepada Allah.
Dari uraian di atas jelas bahwa hukum-hukum fikih itu merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat sesuai dengan kondisi zamannya. Mazhab fikih tidak lain merupakan refleksi perkembangan kehidupan masyarakat dalam Islam, karena mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan zaman dan situasi masyarakat.



E. Hukum Islam
Hasbi Ashshiddiqi menguraikan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Islam adalah koleksi aturan yang dihasilkan ahli hukum untuk menerapkan syari’at sesuai kebutuhan masyarakat. Pengertian ini lebih dekat kepada fikih, bukan kepada syari’at, walaupun begitu penulis tetap juga menggunakan kata hukum islam yang berarti aplikasi dari syari’at dengan fikih. Berdasarkan itu dapat dijelaskan bahwa hukum islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakiniberlaku dan mengikat untuk semua umat manusia yang beragama islam.
Kata ‘seperangkat aturan’ bermakna bahwa yang dimaksud dengan hukum islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci yang mempunyai kekuatan mengikat. Kata berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul berarti bahwa seperangkat peraturan itu digali dari berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulatu yang popular dengan sebutan syari’at. Kata-kata tentang tingkah laku mukallaf berarti bahwa hukum islam mengatur tindakan lahir dari manusia yang telah dikenaihukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang yang menyakini kebenaran wahyu Allah dan Sunnah Nabitersebut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu Allah. Dengan demikian hukum islam mencakup syara’ dan juga fikih.

F. Model-model Penelitian Menurut Hukum Islam
a. Model Harun Nasution
Melalui penelitiannya melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum Islam dengan menggunakan pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil mengdeskripsikan struktur hukum Islam secara komprehensif, yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam Al-Qur’an, latar belakang dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari sejak zaman nabi sampai dengan sekarang.
b. Model Noel J. Coulson
Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya di bidang hukum Islam dalam karyanya berjudul Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. Hasil penelitiannya itu dituangkan dalam 3 bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at, yang di dalamnya dibahas tentang legalisasi Al-Qur’an, praktek hukum di abad pertama Islam, akar yurisprudensi sebagai mazhab pertama, Imam Al-Syafi’I, Bapak yurisprudensi dan menjelang kemandegan. Bagian kedua, berbicara tentang pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Di dalamnya dibahas tentang teori hukum klasik, antara kesatuan dan keragaman, dampak aliran dalam system hukum, pemerintahan Islam dan hukum syari’at, masyarakat Islam dan hukum syari’at. Bagian ketiga berbicara tentang hukum Islamdi masa modern yang di dalamnya membahas tentang penyerapan hukum Eropa, hukum syari’at kontemporer, dan pembaharuan hukum seta neo ijtihad.
c. Model Mohammad Atho Mudzbar
Tujuan dari penelitian yang dilakukannya adalah untuk mengetahui materi fatwa yang dikemukakan Majelis Ulama Indonesia serta latar belakang yang melatarbelakangi timbulnya fatwa tersebut. Penelitian ini bertolak dari suatu asumsi bahwa produk fatwa yang dikekluarkan Majelis Ulama Indonesia selalu dipengaruhioleh setting sosio kultural dan sosio politik, serta fungsi dan status yang harus dimainkan olehlembaga tersebut.



KESIMPULAN

Dari permasalahan yang terdapat di pendahuluan maka dapat dipecahkan melalui:
1. Melespaskan diri dari pengaruh kebudayaan luar dan memaksa diri untuk meleksanakan hukum Islam yang telah baku tersebut.
2. Mengadakan refleksi kritis, tidak saja terhadap hasil pemikiran mujtahid, tetapi juga terhadap metode-metode yang mereka gunakan. Yang sesuai dapat dipergunakan sementara yang tidak sesuai siap untuk direvisi. Sikap yang dipegang adalah al-Muhazafatu ‘ala al-qadim al-salih wa al-‘akhzu bi al-jadid ‘aslah. Artinya mempertahankan yang lama yamg masih baik. Berpegang pada pandangan seperti ini, maka ilmuan Muslim harus memperkaya diri dengan pengetahuan tentang kehidupen masyarakat dalam arti yang luas.