google

hidayah

  • hendrasihotang@yahoo.com
  • putrisusilo@yahoo.com
  • ziaulhaq-elhi.blogspot.com/

Selasa, 12 Oktober 2010

STUDI SYARI’AH

A. Syari’ah
Secara etimologis syri’at berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan asal yang dituruti, atau tempat lalu air di sungai. Arti terakhir ini diartikan orang Arab sampai saat ini. Kata syari’at muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti pada ayat-ayat berikut:








Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkandan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kami kembali, lalu didiberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu selisihkan.
Pada ayat lain dinyatakan:


Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan jangalah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, jelas bahwa kata syri’at mengandung arti agama yang diturunkan Allah dan jalan yang lurus yang membawa kepada kepada kemenangan. Dalam ayat-ayat tersebut, agama yang ditetapkan untuk manusia, disebut syari’at karena dengan mengikuti umat manusia akan selalu memperoleh kemenangan dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat. Makna yang terkandung dari kata syari’at itu mampu membersihkan jiwa manusia seperti air membersihkan kotoran. Allah menjadikan air penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan, demikian juga Allah menjadikan syari’at sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa syari’at adalah segala khitab (perintah) Allah dengan berhubungan dengan tindak-tanduk manusia.
Syariat Islam yang diturunkan Allah kepada umat manusia bertujuan agar mereka dapat mencapai kemaslahatan. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai itu disebut maqasid asy-Syari’ah. Menurut imam Al-Ghazali, kemaslahatan bagi manusia akan dapat tercapai apabila terpelihara lima hal, yaitu agama , jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima hal inilah yang menjadi pokok tujuan dari syari’ pembuat hukum allah SWT .
Hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan akidah,agama, pidana, larangan meminum-minuman yang menghilanglan akal, perkawinan yang bertujusn menjaga keturunan, warisan, dan lain-lain, dimaksudkan untuk memelihara tujuan syari’.
Dalam usaha memelihara tujuan syari’ itu. Abu Ishaq Asy – Syatibi (w 790 H/1228 M; ahli fiqih, ushul fiqih, tafsir, bahasa dan hadis) berpendapat bahwa ada tiga kategori atau peringkat kebutuhan yang perlu dipenuhi dan dipelihara eksistensinya, yaitu dharuriyah (keperluan), hajiyah (kebutuhan). Dan tahsiniyah (perbaikan).
Kebutuhan daruriyah adalah kebutuhan untuk memelihara eksistensi kelima pokok maslahat di atas. Kebutuhan ini sangat esensial : tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mengakibatkan rusaknya kemaslahatan manusia di dunia maupun di akhirat. Perintah yang berhubungan dengan ibadah, di antaranya shalat, puasa, dan zakat, bertujuan agar eksistensi agama tetap terpelihara.
Kebutuhan hajiyah diperlukan untuk memelihara berbagai hal yang berhubungan dengan kelestarian dan kesinambungan kelima pokok maslahat. Kebutuhan ini berada pada peringkat kedua. Apabila ini tidak terpenuhi, eksistensi kelima pokok maslahat tidak terancam walaupun membawa kesulitan bagi manusia. Misalnya, puasa yang daruriyah itu akan menimbulkan kesulitan jika dilaksanakan orang sakit atau musafir. Dalam keadaan seperti itu, orang tertentu dapat meninggalkan kewajiban itu, tetapi harus di ganti pada hari yang lain.
Syariat islam memiliki ciri khusus , di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Hukum-hukum yang ditetapkan bersifat umum, sehingga kemungkinan berijtihad terhadap sesuatu hukum untuk disesuaikan dengan perkembagan zaman dan dinamika masyarakat.
2. Hukum-hukum yang ditetapkan di dasarkan atas pertimbangan –pertimbangan keagamaan dan akhlak.
3. Adanya balasan rangkap yang diperoleh karena melaksanakan hukum itu, yaitu balasan yang diperoleh di dunia dan di akhirat.
4. Hukum-hukumnyabersifat kolektif, ditetapkan untuk kepentingan dan kemaslahatan umum (li masalih al ‘ammah).





Syariat Islam pada dasarnya tidak memberikan manusia. Karena, penetapannya ditempuh melalui beberapa pertimbangan yang mendasar, di antaranya adalah:

1. segala hukum yang ditetapkan tidak memberikan
2. penetapan suatu hukumyang ditujuksn untuk mengubah suatu kebiasaan buruk dalam masyarakat di lakukan secara berangsur – angsur .
3. penetapan suatu hukum sejalan dengan kebutuhan dan kebaikan orang banyak, dan
4. hukum ditetapkan berdasarkan persamaan hak dan keadilan yang merata bagi semua orang.

Syariat islam yang beruhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang dewasa yang wajib melaksanakan syariat agama) dapat dibagi atas lima bagian, yaitu:
1. wajib, yaitu suatu tuntunan/perintah (syari’) pada mukallaf untuk mengerjakan sesuatu dengan tuntunan yang pasti dan tegas. Jika dilasanakan, pelakunya di beri pahala, jika ditinggalkan, ia mendapatkan dosa, seperti shalat.
2. Mandub, yaitu suatu tuntutan / suatu perintah syari’ pada orang mukallaf untuk mengerjakan sesuatu dengan tuntutan yang tidak tegas. Mukallaf boleh memilih, mengerjakan atau tidak. Jika dikerjakan pelakunya di beri pahala, dan jika diinggalkan, ia tidak mendapat siksa. Misalnya , mengerjakan shalat sunnah.
3. Haram, yaitu suatu tuntutan/perintah syari’ pada mukallaf untuk meniggalkan suatu pekerjaan dengan yang tegas. Jika dikerjakan, pelakunya mendapat siksa , dan jika ditinggalkan , ia mendapat pahala. Misalnya berbuat zina dan makan babi.
4. Makruh, yaitu suatu tuntutan / perintah syari’ pada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan yang tidak tegas. Mukalaf boleh memilih, suatu pekerjaan
5. Mubah, yaitu tuntutan syari’ yang membolehkan mukallaf untuk memilih mengerjakan atau tidak mengerjakan. Syari’ dalam hal ini tidak menuntut mukallaf untuk mengerjakan atau meningggalkannya. Mengerjakan atau meninggalkan tuntutan ini tidak mendapat pahala atau dosa, seperti makan dan minum.

B.Tasyri’
Kata tasyri’ berasal dari akar kata yang sama dengan syri’at. Kata merupakan masdar dari fi’il sulasi mazid (kata kerja yang berimbuhan satu huruf), setimbang dengan taf’il yang berarti membuat atau menetapkan syari’at. Jika syari’at itu diartikan dengan hukum atau tata aturan yang ditetapkan Allah yang menyangkut tindak-tanduk manusia, maka tasyri’ dalam hal ini adalah penetapan hukum dan tata aturan tersebut. Perbedaan antara syri’at dengan tasyri’ adalah syari’at itu adalah materi hukumnya, sedangakan tasyri’ penetapan materi yari’at tersebut. Dalam hal ini pengetahuan tentang tasyri’ berarti pengetahuan tentang cara, proses, dasar, dan tujuan Allah menetapkan hukum bagi tindak –tanduk manusia dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang syari’at berarti pengetahuan tentang hakikat dan rahasia hukum-hukum syari’at yang telah ditetapkan Allah.

C.Fikih
Kata fikih secara etimologis berarti paham yang mendalam. Bila kata paham dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fikih berarti faham yang mencakup ilmu zahir dan ilmu batin. Secara definisi, fikih berarti ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang digali dan ditemukan dari sumber-sumber hukum. Sulaimam Rasyid menjelaskan bahwa fikih menurut istilah adalah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara’ tentang perbuatan manusia yang daimbil dari dalil-dalil terperinci. Dalam Mu’jam Alfaz Al-Qur’an, Al-Ragib al-Asfahani, menjelaskan bahwa:


Artinya: Fikih adalah ilmu yang menghubungkan kepada ilmu yang gaib melalui ilmu yang nyata, fikih adalah ilmu khusus. Berdsarkan definisi di atas dapat dilihat hakekat fikih itu antara lain:
1. Bahwa fikih itu adalah ilmu tentang hukum syara’;
2. Bahwa yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah;
3. bahwa pengetahuan tentang hukum syara’ itu didasarkan kepada dalil tafsili;
4. bahwa fikih itu digali dan ditemukan melalui penalaran.

D. Hubungan Syari’at dengan Fikih
Semua tindakan manusia dalam tujuannya untuk mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasul. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian telah terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya. Yang disebut syari’at, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan di balik apa yang tertulis itu. Untuk mengetahui apa yang dikehendaki Allah, harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’at hingga secara amaliah syari’at itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi nyata. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci itu disebut fikih. Fikih itu biasanya dinisbahkan kepada mujtahid yang memformulasikannya, seperti fikih Hanafi, fikih Syafi’i, fikih Syi’ah, dan sebagainya. Sedangkan syara’ selalu dinishbahkan kepada Allah.
Dari uraian di atas jelas bahwa hukum-hukum fikih itu merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat sesuai dengan kondisi zamannya. Mazhab fikih tidak lain merupakan refleksi perkembangan kehidupan masyarakat dalam Islam, karena mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan zaman dan situasi masyarakat.



E. Hukum Islam
Hasbi Ashshiddiqi menguraikan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Islam adalah koleksi aturan yang dihasilkan ahli hukum untuk menerapkan syari’at sesuai kebutuhan masyarakat. Pengertian ini lebih dekat kepada fikih, bukan kepada syari’at, walaupun begitu penulis tetap juga menggunakan kata hukum islam yang berarti aplikasi dari syari’at dengan fikih. Berdasarkan itu dapat dijelaskan bahwa hukum islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakiniberlaku dan mengikat untuk semua umat manusia yang beragama islam.
Kata ‘seperangkat aturan’ bermakna bahwa yang dimaksud dengan hukum islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci yang mempunyai kekuatan mengikat. Kata berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul berarti bahwa seperangkat peraturan itu digali dari berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulatu yang popular dengan sebutan syari’at. Kata-kata tentang tingkah laku mukallaf berarti bahwa hukum islam mengatur tindakan lahir dari manusia yang telah dikenaihukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang yang menyakini kebenaran wahyu Allah dan Sunnah Nabitersebut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu Allah. Dengan demikian hukum islam mencakup syara’ dan juga fikih.

F. Model-model Penelitian Menurut Hukum Islam
a. Model Harun Nasution
Melalui penelitiannya melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum Islam dengan menggunakan pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil mengdeskripsikan struktur hukum Islam secara komprehensif, yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam Al-Qur’an, latar belakang dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari sejak zaman nabi sampai dengan sekarang.
b. Model Noel J. Coulson
Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya di bidang hukum Islam dalam karyanya berjudul Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. Hasil penelitiannya itu dituangkan dalam 3 bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at, yang di dalamnya dibahas tentang legalisasi Al-Qur’an, praktek hukum di abad pertama Islam, akar yurisprudensi sebagai mazhab pertama, Imam Al-Syafi’I, Bapak yurisprudensi dan menjelang kemandegan. Bagian kedua, berbicara tentang pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Di dalamnya dibahas tentang teori hukum klasik, antara kesatuan dan keragaman, dampak aliran dalam system hukum, pemerintahan Islam dan hukum syari’at, masyarakat Islam dan hukum syari’at. Bagian ketiga berbicara tentang hukum Islamdi masa modern yang di dalamnya membahas tentang penyerapan hukum Eropa, hukum syari’at kontemporer, dan pembaharuan hukum seta neo ijtihad.
c. Model Mohammad Atho Mudzbar
Tujuan dari penelitian yang dilakukannya adalah untuk mengetahui materi fatwa yang dikemukakan Majelis Ulama Indonesia serta latar belakang yang melatarbelakangi timbulnya fatwa tersebut. Penelitian ini bertolak dari suatu asumsi bahwa produk fatwa yang dikekluarkan Majelis Ulama Indonesia selalu dipengaruhioleh setting sosio kultural dan sosio politik, serta fungsi dan status yang harus dimainkan olehlembaga tersebut.



KESIMPULAN

Dari permasalahan yang terdapat di pendahuluan maka dapat dipecahkan melalui:
1. Melespaskan diri dari pengaruh kebudayaan luar dan memaksa diri untuk meleksanakan hukum Islam yang telah baku tersebut.
2. Mengadakan refleksi kritis, tidak saja terhadap hasil pemikiran mujtahid, tetapi juga terhadap metode-metode yang mereka gunakan. Yang sesuai dapat dipergunakan sementara yang tidak sesuai siap untuk direvisi. Sikap yang dipegang adalah al-Muhazafatu ‘ala al-qadim al-salih wa al-‘akhzu bi al-jadid ‘aslah. Artinya mempertahankan yang lama yamg masih baik. Berpegang pada pandangan seperti ini, maka ilmuan Muslim harus memperkaya diri dengan pengetahuan tentang kehidupen masyarakat dalam arti yang luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar